Chapitre Onze - 11

4.3K 486 6
                                    

Sebuah benturan tapal kuda yang saling bersahutan, terpaan angin serta ranting rendah yang menyentuh kulitnya memperlihatkan seberapa cepat kuda hitam itu berlari dalam hentakan saggurdi-nya.

Bukan karena laki-laki itu terburu-buru untuk sampai tujuan, ataupun dengan seseorang yang mengikutinya. Namun, ada hal yang membuatnya risau, hingga ia merasa harus melajukan kuda hitamnya dengan cepat.

Ia sangat menyadari jika setelah kejadian jatuhnya Elisabeth ditangga utama kastel, membuat dirinya terkadang bergerak impulsif. Seperti ketika ia berkuda hanya untuk menyusul istrinya itu, dan mengajaknya memutar balik menuju istana utama yang malah ditolak mentah-mentah olehnya.

Ada perasaan aneh yang merayap, sehingga ia berulang kali berpikir untuk memutar kembali kuda hitamnya disaat teriakan terakhir Elisabeth terdengar. Namun kenyataannya, otaknya terlalu lama untuk memproses dan malah membuat dirinya melajukan kuda hitamnya dengan cepat.

Dan ketika sebuah perbatasan terlihat dalam jarak pandangnya, ia mulai memelankan kuda hitam miliknya. Berjalan dengan pelan menuju gerbang besi.

"Umumkan kedatangan Lord Montmorency!" teriak salah satu prajurit berbalut baju baja.

Bunyi kertak antar dua logam yang berbenturan menjadi tanda sebuah gerbang besi besar yang semula tertutup, kini terangkat menuju pangkalnya. Membuka diri menyambut kedatangan laki-laki didepannya.

"Akan saya umumkan kedatangan anda, My Lord!" ucap prajurit lain yang menyapanya di mulut gerbang.

Si prajurit telah siap bergerak ketika Francis menahannya, "Tidak. Aku akan langsung ke Istana. Tolong kau panggilkan Hubert dan minta untuk segera ke Istana," lalu dengan itu ia berderap pergi bersama kuda hitam miliknya, menembus pusat kota menuju istana utama.

Perjalanannya cukup lancar, berbeda dari tahun sebelumnya ketika memasuki festival panen, jantung kota terlihat lebih sepi. Dan tidak butuh waktu lama hingga ia sampai di istana utama, dan langsung diantar oleh para pelayan menuju Balairung Istana.

"Francis, bagaimana kabarmu?"

Seorang pria terduduk santai di sebuah singgahsana pada undakan tertinggi sembari tersenyum. Pria itu berbalut sutra dengan bertenun emas berpola di tiap sisinya, dengan cape yang tersampir di sisi bahunya, menjuntai hingga menyapu lantai.

"Your Grace," ucap Francis seraya menekukkan kaki membungkuk dengan hormat.

Raja Henry tertawa. "Tidak perlu terlalu formal," ucapnya seraya turun dari singgahsana miliknya dan menghampiri Francis yang telah berdiri. "Apa yang membuatmu tertahan begitu lama?"

"Beberapa urusan mendesak, Your Grace," jawabnya.

"Dimana Elisabeth?" tanya sebuah suara merdu dari sisi lain balairung. Seorang perempuan berbalut gaun sutra sewarna kelam berjalan menghampirinya. Menatap manik abu itu dengan sorot mata teduh.

"My Lady," ucap Francis memberi salam. "Elisabeth akan menyusul secepatnya."

"Kau berdua terlihat sangat sibuk," kata sang raja sembari berjalan melewati Francis, mengatakan dalam gerakan jika ia harus di ikuti.

"My Lady," salam Francis pada perempuan itu sebelum ia mengekori sang raja berjalan keluar dan hilang dibalik pintu besar balairung.

Mereka berjalan melewati serambi berjendela tinggi dimana cahaya matahari selalu menerobos masuk memenuhi serambi, membuatnya selalu menjadi tempat bercahaya.

Lalu di sisi lain jendela itu, prajurit-prajurit dengan panahan dan busur dibawah naungan langit yang begitu cerah terlihat bergerak sesuai perintah komando. "Tarik, tahan, tembak!" Begitu seterusnya hingga Francis dan Sang Raja berjalan memasuki lorong dengan gargoyle-gargoyle yang bertengger disetiap sisi tembok.

ParallelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang