Rain ☔ 32

124 20 4
                                    

Semakin jauh kamu mencari tahu duniaku, semakin sia-sia waktu yang kamu buang begitu saja.

—Rain

***

Satu nama yang terlintas dalam benak Mentari. Satu nama yang akhir-akhir ini mengganggu ketenangan Mentari. Satu nama yang berhasil membuat Mentari ingin selalu membalas perkataannya. Satu nama yang menyebalkan untuk diingat.

Pandu.

Tidak salah lagi pasti Pandu. Pasalnya saat itu Pandu juga pernah ingin memberikan sketchbook kepada Mentari yang dititipkan kepada Helmi. Namun, sayangnya Mentari tolak dan diberikan kembali. Sepertinya Pandu tidak juga menyerah, Mentari sangat yakin bahwa Pandu orang yang telah mengiriminya sketchbook dan kuas. Terlebih lagi, Mentari baru saja berpapasan dan melihat Pandu keluar dari kelasnya. Satu pertanyaan di kepala Mentari yang masih belum terpecahkan: Mengapa Pandu memberinya sketchbook lagi padahal sudah jelas pemberiannya saat itu ditolak oleh Mentari?

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Mentari membawa sketchbook dan kuas itu ke luar kelas. Katakanlah Mentari menjadi berani berhadapan dengan Pandu. Lagi pula, mengapa harus takut jika Mentari saja tidak melakukan kesalahan apa-apa.

Tempat yang Mentari tuju saat ini adalah ruang OSIS. Biasanya lelaki itu selalu berada di sana, dan Mentari juga tidak tahu keberadaan kelas Pandu. Keberuntungan seperti berpihak pada Mentari. Dia tidak perlu menanyakan keberadaan Pandu pada orang-orang atau mengetuk pintu ruang OSIS karena orang yang Mentari tuju baru saja keluar dari ruangannya.

"Ini apa maksudnya?" Mentari memotong jalan Pandu yang hendak belok, hingga posisinya saat ini mereka berdua berhadapan.

"Maksudnya?" Pandu balik bertanya dengan kerutan di dahi.

"Ini apa?"

"Sketchbook? Kuas? Apalagi?"

Baiklah, Mentari salah memberikan pertanyaan pada orang seperti Pandu. Mentari menghela napas, menatap Pandu tepat di iris matanya. "Mana tangan kamu?"

Ekspresi Pandu terlihat bingung, dia tidak mengerti maksud Mentari. Pandu melihat telapak tangannya sendiri dan terkejut ketika Mentari meletakkan sketchbook dan kuas begitu saja.

"Kamu nggak usah pura-pura nggak tahu. Saya udah bilang berapa kali kalau saya nggak mau menerima pemberian apapun dari kamu. Apalagi dengan alasan-alasan kamu yang meminta—"

"Apa sih?" potong Pandu cepat dengan kerutan di dahinya yang semakin bergelombang. Dia menatap kedua benda di tangannya dan Mentari bergantain. Tidak mengerti dengan perkataan Mentari yang tiba-tiba saja menyalahkannya. "Saya serius nggak ngerti. Sketchbook dan kuas ini punya siapa? Kenapa jadi ke saya?"

Kali ini giliran Mentari yang kebingungan. Dahinya berkerut, tapi sedetik kemudian ekspresi wajahnya berubah menjadi datar. "Kamu, kan, yang kasih ini dan simpan di meja saya?"

Seketika Pandu mengerti arah pembicaraan Mentari. Dia menggelengkan kepalanya, menarik tangan Mentari dan memberikan kedua benda itu kepada Mentari.

"Saya nggak tahu apa-apa. Dan, saya nggak berniat kasih apa-apa ke kamu setelah dengan sombongnya kamu tolak pemberian sketchbook dari saya. Masih ingat, kan?" Pandu justru balik bertanya. Jangan lupakan bagaimana seorang Pandu mematikan ucapan lawan. Siapa pun bisa dibalasnya dengan habis jika memang dia tidak bersalah. Lagi pula, Pandu sungguh-sungguh tidak merasa bahwa dirinya yang memberikan itu kepada Mentari.

"Apa kamu bilang?" Mentari mengangkat dagunya. "Sombong?"

"Kenapa? Nggak terima saya bilang sombong? Kenyataannya kayak gitu kok."

"Kamu—"

"Udah, ya, saya sibuk dan nggak ada urusan sama kamu, Mentari." Pandu mengurungkan langkah kakinya dan menoleh lagi pada Mentari. "Oh, iya, kamu pasti menyangka itu pemberian saya karena kamu lihat saya ke kelas kamu, kan? Asal kamu tahu aja, saya ke kelas kamu bukan berarti mau ketemu sama kamu. Saya ketemu Norman, ketua kelas kamu."

Mentari benar-benar dibuat bungkam dengan perkataan Pandu barusan. Mentari salah menduga, dia tidak tahu siapa yang memberinya sketchbook dan kuas. Mentari kira itu pemberian dari Pandu mengingat laki-laki itu juga pernah memberinya sketchbook. Lalu, kalau bukan Pandu, siapa yang memberinya?

"Dan, satu lagi," Pandu kembali mengurungkan langkah kakinya, menatap Mentari lekat-lekat. "Saya pikir kamu pendiam, ternyata nggak. Nyali kamu diam-diam oke juga."

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang