Rain ☔ 46

82 19 10
                                    

Apakah ini takdir yang mengharuskan aku bertemu denganmu?

—Rain

***

Mentari melihat kertas di tangannya, lalu melihat nomor yang tertera di dekat pagar rumah bercat abu-abu. Mentari melihat sekeliling, rumahnya sepi seperti tidak ada orang. Namun, Mentari sudah terlanjur sampai. Setelah memastikan rumah di hadapannya sesuai dengan alamat yang tertera di kertas, Mentari menekan bel di dekat pagar hitam.

Beberapa kali Mentari menekan bel, tapi tidak ada sahutan dari dalam. Mentari menghela napas, pundaknya turun. Seharusnya Mentari menghubungi pemilik rumah dahulu sebelum ke sini, tapi ponsel Mentari ditinggal di rumah. Lagi pula, dia sengaja setelah pulang sekolah sekalian mampir.

Belum sempat Mentari melangkah, sebuah mobil jeep berhenti di hadapan Mentari. Mentari mundur, lalu mendapati seorang pria paruh baya dengan wanita paruh baya berjilbab, serta dua anak perempuan kembar mengenakan seragam sekolah dasar.

"Mentari?" Mentari menyunggingkan senyum seraya membungkukkan tubuhnya sesopan mungkin. "Kok nggak bilang dulu mau ke rumah? Udah lama nunggu?"

"Pulang sekolah sekalian mampir. Baru aja kok, Pak."

"Bun, ini Mentari. Dia anak dari almarhum sahabatku yang pernah aku ceritakan dulu." Pak Angga memperkenalkan Mentari kepada wanita paruh baya di sebelahnya yang merupakan istrinya. "Dan, ini Miranda, istri saya, Mentari."

"Halo, Mentari!" sapa Bu Miranda dengan sangat ramah. "Yaudah, ayo masuk aja, yuk! Kita ngobrol di dalam aja, ya."

"Ini siapa, Bunda?" salah seorang anak kecil itu bertanya pada Bu Miranda.

"Ini Kakak Mentari, Sayang. Anaknya teman Ayah."

"Hai!" Mentari berusaha untuk menyapa kedua anak kembar yang rupanya anak dari Pak Angga dan Bu Miranda.

"Salim dulu, gih, sama Kakak Mentari, ayo!" ujar Pak Angga membuat si kembar malu-malu, tetapi tetap mencium tangan Mentari. "Mentari, ini Ara dan Ira, putri kembar saya."

Mentari tersenyum, lalu dia mengikuti Pak Angga dan Bu Miranda untuk masuk ke rumah. Sedangkan Ara dan Ira sudah masuk lebih dulu.

Mentari duduk di sofa ruang tamu. Rumah Pak Angga sangat asri dan cukup luas, banyak tanaman di halaman rumahnya yang sudah seperti taman. Sepertinya keluarga Pak Angga ini memang senang berkebun.

"Mentari, Ibu tinggal dulu, ya, mau mandiin Ara dan Ira, nih. Kamu ngobrol sama Bapak dulu, ya. Nggak usah sungkan, anggap aja rumah sendiri." ujar Bu Miranda setelah meletakkan teh ke hadapan Mentari. "Ayo, diminum dulu tehnya."

"Makasih banyak, Bu, jadi ngerepotin." Mentari membalas senyuman Bu Miranda. Merasa tidak enak karena sudah merepotkan. Mentari merasa bahwa Bu Miranda dan Pak Angga orang baik, bahkan memperlakukan tamu seperti raja. Bu Miranda juga menyuguhkan kue-kue kepada Mentari.

Setelah Bu Miranda pergi ke belakang, Mentari mulai berbicara dengan Pak Angga. Banyak sekali yang dibicarakan oleh keduanya. Termasuk tujuan Mentari untuk melihat lukisan karya almarhum ayahnya.

"Saya dan Abdi sudah mengenal cukup lama. Hanya saja kami jarang bertemu, dan sempat kehilangan kontak untuk saling kirim kabar. Kabar terakhir yang saya dengar tentang Abdi saat beliau sudah tidak ada. Saya sedih sekali, turut berduka cita ya, Mentari. Saya nggak sempat ikut untuk ke pemakanan Abdi saat itu karena saya sedang berada di Malaysia."

Mentari diam mendengarkan. Seketika memori mengenai ayahnya terputar di kepala Mentari. Kenangan-kenangan yang sampai detik ini masih membekas dan sulit untuk dilupakan. Mentari merindukan sosok ayah yang selalu ada untuknya, yang selalu tahu cara membuat Mentari bahagia, apa pun itu.

"Setelah saya pulang dari Malaysia, saya dan teman-teman satu sekolah SMA dulu, ziarah ke makam Abdi. Kami sempat ke rumah lama, tapi katanya sudah pindah." jelas Pak Angga lagi sembari menyesap teh di cangkirnya. "Saya nggak tahu kalau kamu itu anak Abdi. Yang saya tahu, memang Abdi itu punya anak perempuan, tapi saya lupa namanya. Ternyata, saya bisa bertemu dengan kamu lagi, Mentari. Saya pernah ketemu kamu itu ... waktu acara seminar di Karawang. Kamu ikut dengan Abdi, saat kamu masih lima tahun sepertinya."

Mentari mencoba mengingat acara seminar belasan tahun lalu, tapi dia lupa. Ingat-ingat lupa. Tapi, memang Mentari sering sekali ikut seminar bersama ayahnya. Mentari sering memaksa untuk ikut, dan ayahnya tidak tega untuk menolak permintaan putri semata wayangnya.

"Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Pak Angga. "Ibu kamu gimana kabarnya?"

Senyum Mentari memudar seketika mendengar nama ibunya yang ditanyakan oleh Pak Angga. Mentari menghela napas, memaksakan senyumnya kembali. "Alhamdulillah, baik. Saya tinggal di jalan Kenanga, Pak." jawab Mentari. "Oh, iya, kemarin Bapak kok bisa ada di tempat perlombaan?"

"Saya kepala sekolah di SMPN 7 Pagi Bandung, tempat diselenggarakan lomba kemarin. Kebetulan kita jadi ketemu di sana, ya." Mentari mengangguk tersenyum. "Kalau istri saya, dia mengajar di sekolahnya Ara dan Ira. SDN 1 Braga."

Ternyata Pak Angga dan Bu Miranda adalah seorang guru. Pantas saja tutur bahasanya yang santun, sopan dan bisa memperlakukan orang lain dengan baik. Entah mengapa, Mentari merasa nyaman berada di rumah Pak Angga. Mereka menyambut Mentari dengan sangat hangat.

"Anak sulung saya juga sekolah di SMAN 19 Bandung sama seperti kamu. Kalau saya tahu kamu sekolah di sana juga, sudah saya suruh dia cari kamu." Pak Angga terkekeh, menyesap tehnya kembali. "Dia laki-laki, pasti kamu kenal."

Mentari baru tahu bahwa Pak Angga juga memiliki seorang putra. Mentari kira Pak Angga hanya memiliki si kembar saja. Dan, rasanya Mentari tidak akan tahu dan mengenal anak Pak Angga. Mentari bahkan jarang berinteraksi dengan orang-orang dan tidak banyak mengenal teman-teman di sekolahnya.

"Dia Ketua OSIS." ujar Pak Angga lagi yang berhasil membuat Mentari mendadak bungkam. Apa Mentari tidak salah dengar? Bagaimana bisa Pak Angga menyebut anaknya sebagai Ketua OSIS.

Kerongkongan Mentari mendadak tercekat. Maksudnya apa? Dia bahkan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Pak Angga, meski Mentari tahu bahwa Pak Angga tidak mungkin berbohong. Namun, rasanya sulit untuk dipercaya.

"Maksud Bapak, anak Bapak itu Ketua OSIS di sekolah saya? Maksudnya Pandu?"

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang