Rain ☔ 47

127 25 29
                                    

Ternyata, pertemuan kita bukan hanya sekadar tidak sengaja. Namun, garis semesta yang sudah tetap dan tidak bisa kuubah meski aku memaksanya.

—Rain

***

"Maksud Bapak, anak Bapak itu Ketua OSIS di sekolah saya?" Mentari membelalakkan matanya tak percaya. "Maksudnya Pandu?" tanyanya lagi untuk memastikan bahwa dia tidak salah dengar.

"Assalamualaikum, Ya—" Pandu terkejut ketika mendapati ayahnya duduk bersama seorang perempuan yang begitu Pandu kenal. Bahkan Pandu tidak melanjutkan lagi sapaannya karena keterkejutannya yang tiba-tiba. "Mentari?" Dahi Pandu berkerut heran. Satu pertanyaan terputar di kepala Pandu saat ini; mengapa Mentari berada di rumahnya?

"Waalaikumsalam,"

Sama halnya dengan Mentari, keterkejutannya semakin bertambah ketika melihat sosok Pandu tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya. Masih tidak mengerti dengan situasi sekarang karena jujur saja ini begitu tiba-tiba dan sangatlah tidak terduga.

"Kok kamu bisa ada di sini?" tanya Pandu setelah sadar dari keterkejutannya.

"Rupanya kalian berdua saling kenal. Bagus dong kalau gitu." Pak Angga justru melemparkan sebuah senyuman membuat Pandu tersadar dan segera mencium tangan ayahnya.

"Bagus apanya, Yah?"

"Ya, bagus aja. Udah kenal, temenan, bagus itu." ujar Pak Angga lagi membuat Pandu dan Mentari semakin tidak mengerti. "Kamu kenapa nggak bilang sama Ayah kalau Mentari satu sekolah dengan kamu, Pan?"

"Mana Pandu tahu, Yah. Ayah nggak bilang, tapi kok Ayah bisa kenal Mentari?" Pandu duduk di sebelah ayahnya, melepas ransel hitam yang terasa berat di pundak karena membawa laptop ke sekolah.

"Jadi, Mentari ini anak dari almarhum teman lama Ayah."

Pandu mengangguk-angguk, baru sadar dan mengerti mengapa Mentari mengenal ayahnya. "Tapi, kok bisa ada di sini?"

"Ceritanya panjang, sudah sana kamu ganti baju dulu. Ayah punya tugas buat kamu." Pak Angga mendorong Pandu untuk segera berdiri dan mengganti pakaian sekolahnya.

Sebenarnya masih banyak pertanyaan serta keterkejutan yang terputar di kepala Pandu, tapi Pandu memutuskan untuk tidak bertanya lagi dan menuruti perintah ayahnya. Pandu pamit untuk ke kamar dan mengganti pakaian.

Ketika Pandu sudah berlalu, Pak Angga kembali mengajak Mentari untuk berbicara. Dia juga tidak menyangka bahwa Pandu dan Mentari berada di sekolah yang sama. Mentari yang masih terkejut, tersadar ketika Pak Angga memanggilnya.

"Kamu dengan Pandu di sekolah bagaimana? Berteman baik, kan?"

Mentari tersenyum canggung, "Baik, Pak."

Lalu, Pak Angga mengajak Mentari untuk ruang tengah—di mana tempat lukisan-lukisan terpajang dengan cantik di sana. Mentari berdecak kagum melihat pesona dari gradasi warna yang begitu mengagumkan. Mentari geleng-geleng kepala, takjub. Dia percaya bahwa ayahnya yang membuat lukisan itu semua.

"Saya percaya dengan karya-karya Abdi. Dia selalu membuatnya dengan hati dan hati-hati. Dan ... " Pak Angga mendekat ke sebuah lukisan bertema jalanan Bandung. "Ini lukisan yang paling saya suka. Jalan Braga, persis seperti ketika saya masih sekolah dulu. Suasananya, kehidupannya, semua tergambar sempurna dalam lukisan ini." Pak Angga menatap tak kalah takjub dengan Mentari. "Ayah kamu orang hebat, Mentari."

Mentari menyunggingkan senyum, binar matanya benar-benar terlihat bahagia. "Saya udah lama nggak pernah lagi lihat lukisan Ayah saya. Semenjak ... semenjak semuanya dijual oleh Ibu dan nggak ada yang tersisa satu pun. Ketika itu saya lagi sekolah, Ibu menjualnya tanpa memberitahu saya. Satu-satunya yang tersisa cuman sketchbook dari Ayah."

Tanpa sadar, air mata Mentari jatuh begitu saja. Cepat-cepat dia mengusap air matanya karena malu ketika dilihat Pak Angga. "Maaf, Pak, saya—"

"Nggak apa-apa," Pak Angga menepuk pundak Mentari berkali-kali. "Kamu anak yang hebat, Mentari. Sama seperti Ayah kamu." Pak Angga menunjuk sebuah penanda lukisan di ujung kanan paling bawah. "Ini, sama seperti lukisan kamu yang saya lihat saat perlombaan."

Dan, Pak Angga benar. Penanda lukisannya persis dengan Mentari. Jelas saja karena Mentarilah yang sengaja meniru penanda milik ayahnya. Mentari yang berusaha untuk menyamakannya dengan seorang ayah yang baginya sangat hebat. Ayahlah yang menjadi sosok motivator dan contoh bagi hidup Mentari.

Cukup lama Mentari memerhatikan lukisan-lukisan milik Pak Angga yang dibuat oleh almarhum ayahnya. Seketika memori mengenai ayahnya terputar kembali dalam kepala. Rasa sedih sekaligus haru memenuhi perasaannya saat ini. Lalu, Pak Angga membiarkan Mentari untuk melihat-lihat lukisan di rumahnya.

"Bapak tinggal dulu, ya, sebentar, ada tamu. Nanti kamu ditemani Ibu dan Pandu, ya."

Mentari mengangguk, sempat menoleh ketika Pak Angga memanggil Bu Miranda dan Pandu untuk menemani Mentari. Lalu, Mentari kembali melihat-lihat lukisannya lagi.

"Mentari,"

Mentari menoleh mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata Pandu sudah berada di hadapan Mentari. Pandu sudah berganti pakaian menggunakan kaus oblong dan celana selutut. Menatap Mentari dengan sorot mata yang sulit Mentari artikan.

***

Note:

Halo, teman-teman. Aku mau wanti-wanti sama kalian kalau mungkin cerita ini akan selesai sebentar lagi. Sudah 3/4 jalan cerita dan sisa sedikit lagi menuju kata selesai. Dari awal aku membuat cerita ini dengan sederhana dan tidak begitu banyak konflik. Aku berharap teman-teman enjoy dan bisa ambil sesuatu yang baik dari sini, ya. Buang yang buruk, simpan dan pakai yang baiknya.

Yok, kawal Duta sampai tamat wkwk.

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang