Jika berbohong bagimu adalah baik, maka biarkan aku yang menentangnya. Jika berbohong bagimu adalah cara, maka biarkan aku yang mencegahnya.
—Rain
***
"Aku udah paksa Tari untuk ikut, tapi dia nggak mau." Helmi memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. "Emangnya kenapa sih Mentari harus ikut? Dia nggak bisa dipaksa kalau udah bilang nggak. Masa kalau Tari nggak ikut, aku juga nggak boleh datang?"
Sebenarnya Helmi mengajak Mentari hanya karena satu alasan. Alasan yang akhir-akhir ini selalu membuat Helmi gembira hanya dengan mendengarnya. Helmi bisa saja memaksa datang ke kedai kopi tempat kerja Bara, tanpa Mentari. Namun, Helmi akan mendapatkan sesuatu yang menguntungkan dirinya jika dia berhasil mengajak Mentari; Diperbolehkan untuk datang ke tempat kerja Bara dan duet menyanyi dengan Barameru untuk nanti diunggah di channel Youtube milik lelaki itu.
"Bara!" panggil Helmi ketika Bara hanya diam saja dan justru sibuk dengan kamera yang menggantung di lehernya. "Kamu dengar aku, kan?"
"Iya, aku dengar, Hel."
"Terus gimana dong? Aku tetap bisa datang dan duet sama kamu, kan?" tanya Helmi memastikan perjanjian yang sebelumnya pernah mereka bicarakan.
Bara menghela napas, menoleh menatap Helmi yang menunggu jawabannya. "Tanpa Mentari, kamu bisa datang. Tapi, aku nggak janji bisa duet sama kamu, ya, Hel."
Helmi melongo di tempatnya. Kantin terasa sunyi ketika Bara mengatakan hal demikian. Helmi sudah berusaha mati-matian membujuk Mentari, tapi dia tidak mendapatkan apa-apa. Lalu, sekarang Helmi harus mengemis lagi dan lagi agar orang-orang mau menuruti kemauannya?
"Kok gitu sih, Bara?" Helmi cemberut, menyeruput es teh miliknya dengan perasaan kesal. Dia terdiam cukup lama, matanya tak lepas dari Bara yang masih sibuk mengotak-atik kamera. "Segitunya kamu suka sama Mentari, ya, Bara?"
Mendengar pertanyaan Helmi barusan berhasil membuat Bara menghentikan kegiatannya. Dia tidak mengerti mengapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Helmi. Bara tidak menjanjikan apa-apa kepada Helmi dan justru perempuan itulah yang meminta dan memberikan penawaran sendiri untuk Bara.
"Suka, kan kamu sama Mentari?" tanya Helmi lagi, kali ini suaranya naik. Bahkan Helmi tidak peduli tatapan orang-orang di kantin kepadanya. "Ya ... kalau emang kamu suka sama Mentari nggak masalah sih. Wajar, dia juga perempuan dan kamu laki-laki. Tapi, aku mau tanya sama kamu, Bara. Kenapa kamu bisa suka sama Mentari? Apa yang bikin kamu tertarik sama dia?"
"Sejak kapan suka sama Mentari, Bar?" Tiba-tiba saja Taryo sudah duduk di sebelah Bara. Menunggu Bara menjawab pertanyaannya.
"Sejak ..." Bara terlihat berpikir sebentar, mencoba mengingat sejak kapan hari yang membuatnya berdebar dan tertarik dengan seorang perempuan seperti Mentari. "Sejak pertama kali ngobrol sama dia. Mungkin?"
"Jadi, kamu beneran suka sama Mentari?" tanya Helmi memastikan lagi. Dan, mungkin berapa banyak pertanyaan yang sama dari Helmi tidak akan bisa mengubah jawaban Barameru.
"Kok bisa suka sama perempuan modelan kayak Mentari? Orang jarang ngomong, hidupnya kayak manekin. Cantik sih, tapi sayangnya masih banyak yang lebih cantik dari dia. Lagi pula sifatnya juga selalu seenaknya, nggak bisa menghargai orang—"
"Emangnya rasa suka itu bisa diatur-atur, ya?" tanya Bara memotong ucapan Taryo yang jika dibiarkan pasti akan lebih buruk lagi membicarakan Mentari mengingat hubungan keduanya memang tidak begitu baik.
Tanpa mereka sadari, sedari tadi Mentari mendengarkan semuanya ketika mengantre makanan di kantin Pak Kadir. Hanya saja Mentari memilih untuk diam. Dia tidak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang.
Mentari menghela napas, belum sempat dia mengatakan apa yang ingin dibeli kepada Pak Kadir, tetapi suara seseorang di sebelahnya membuat Mentari menoleh.
"Pak, takoyaki lima ribu. Roti sarikaya satu sama air mineral satu." Pandu mengeluarkan uang dua puluh ribu dari saku seragamnya. Mengangkat kedua alisnya ketika tatapannya bertemu dengan tatapan Mentari. Seperti biasa, tidak ada percakapan di antara mereka. Hingga Pandu yang pertama kali memutuskan kontak mata mereka ketika Pak Kadir memberikan uang kembalian.
"Makasih, ya, Pak."
Sebelum Pandu benar-benar berlalu, dia sempat menoleh lagi melihat Mentari. Hanya sebentar, setelah itu Pandu pergi dengan membawa makanan yang sudah dibelinya di kantin Pak Kadir.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Teen FictionDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...