Aku selalu menerka-nerka, apa yang sedang semesta kerjakan untukku? Kejutan apalagi kiriman semesta yang membuatku harus bersiap sewaktu-waktu ia akan datang lagi? Semesta, bolehkah aku meminta untuk bahagia?
—Rain
***
Bus sampai di sekolah pukul lima sore. Murid SMAN 19 Bandung sudah pulang, sekolah juga sudah sepi hanya menyisakan anggota OSIS yang sudah bersiap untuk segera pulang. Mentari menghela napas, rasanya hari ini benar-benar lelah sekali. Ketika Mentari sudah sampai di depan gerbang sekolah, sebuah motor vespa berwarna tosca berhenti di sebelah Mentari.
"Tari, pulang bareng, yuk!"
Dia Barameru. Melambaikan tangan pada Mentari sambil tersenyum.
"Nggak usah makasih, kamu duluan aja." Mentari jelas menolak, lagi pula tidak ada teman yang mengajaknya pulang bersama. Sebenarnya Mentari bisa saja memiliki banyak teman jika dia mau mengubah sifat dan sikapnya. Namun, Mentari terlalu lelah, dia sudah terbiasa dan lama-lama merasa nyaman dengan kesendirian.
"Udah sore, lho, Tar. Mendung juga kayaknya mau hujan. Udah, bareng aja sama aku, Tar. Dijamin aman, selamat sampai rumah."
"Nggak usah," Mentari berjalan keluar gerbang membuat Bara cepat-cepat melajukan motornya dan berusaha menyamakan langkah Mentari. Bara melajukan motornya dengan pelan agar dia bisa berbicara.
"Kenapa nggak mau?" tanya Bara ketika sudah berada di samping Mentari yang masih berjalan di atas trotoar. "Tar," panggil Bara lagi ketika Mentari hanya diam saja.
"Apalagi?" Mentari menghentikan langkah, dia menatap Bara menegaskan bahwa dia tidak suka dipaksa. "Saya bisa pulang sendiri, kamu nggak usah repot-repot antar saya. Seperti sebelumnya aja, pulang masing-masing. Dan, nggak usah basa-basi."
Bara menatap punggung Mentari yang sudah berjalan di depannya. Bara memicingkan mata, bermonolog mengapa Mentari tidak mau diantar pulang padahal sudah sore dan mendung.
"Apa Mentari nggak mau, ya, naik vespa butut?" Bara bermonolog, memicingkan matanya. "Ah, udahlah, percuma juga pasti yang ada dia marah kalau dipaksa."
Barameru benar, Mentari memang tidak suka jika harus dipaksa. Terkadang Bara juga heran, mengapa ada orang seperti Mentari yang begitu tertutup dan enggan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Apa orang seperti Mentari tidak tahu caranya tersenyum?
Mentari menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan Bara yang sudah berbalik, berlawanan arah dengan jalan Mentari saat ini. Mentari menghela napas, dia kembali berjalan dan menatap langkah kakinya sendiri. Menikmati semilir angin yang berembus menusuk kulit. Jalanan terlihat ramai oleh orang-orang yang akan pulang. Memang jam-jam seperti ini adalah waktu orang-orang pulang kerja.
Mengingat sudah pukul lima sore lewat, pasti angkot sudah jarang untuk ditemui. Biasanya angkot akan beroperasi sebelum jam lima sore saja. Meski ada juga beberapa angkot yang beroperasi sampai malam. Namun, Mentari belum menemukan keberadaan angkot di jalanan.
Rasanya benar-benar lelah, Mentari memilih untuk berjalan. Sudah cukup jauh dia berjalan dan belum juga menemukan angkot. Mentari terpaksa untuk pulang jalan kaki saja. Lagi pula sudah setengah jalan dan waktu sudah semakin sore. Ditambah lagi sepertinya akan segera turun hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Novela JuvenilDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...