Aku mengalah dan diam karena aku tahu bahwa tidak ada kekuatan apa-apa yang bisa aku tunjukkan saat ini.
—Rain
***
Mentari sudah mengikuti seleksi yang diadakan oleh Pak Didi. Tentu saja dia menghargai Pak Didi karena merasa tidak enak jika harus menolaknya. Setidaknya Mentari tidak ingin berusaha terlalu keras, dia juga tidak berharap apa-apa dengan perlombaan yang dikatakan oleh salah satu guru seni di sekolahnya itu.
Setelah dua kali seleksi, calon peserta dikumpulkan di dalam sebuah aula ketika jam istirahat. Ternyata ada lebih tiga puluh murid di dalamnya. Rupanya bukan hanya calon peserta seni saja, melainkan calon peserta lomba debat, pidato, ngadongeng, menyanyi solo, atletik, renang, juga olimpiade akademik seperti Matematika, Fisika dan Kimia. Beberapa minggu lagi adalah pekan perlombaan yang diadakan setiap tahun di tiap-tiap sekolah kota Bandung. Dan, SMAN 19 Bandung diberikan kesempatan untuk mendaftarkan murid-murid terpilih dan berkualitas untuk mengikuti lomba tersebut.
Mentari duduk di bangku depan karena hanya bangku dideretan depan yang kosong. Di sebelahnya seorang perempuan berkacamata tebal yang Mentari yakini dia salah satu murid pintar dalam bidang akademik.
Pihak kesiswaan mulai memberikan sambutan dan menjelaskan perlombaan yang akan berlangsung dua minggu lagi. Mentari hanya diam mendengarkan, beberapa guru bersangkutan di bidang perlombaan ikut hadir di dalam aula. Ketika Mentari hendak menoleh ke belakang, dia menemukan Pandu berdiri di dekat tembok bersama kedua rekan OSIS. Pandangan keduanya bertemu beberapa saat, Pandu tersenyum kecil. Senyum yang tidak bisa Mentari artikan. Ah, mengingat Pandu memang akhir-akhir ini selalu mengganggu pandangan Mentari. Terlebih lagi Pandu memang ketua OSIS dan bukan hal baru lagi jika dia yang mengurus semuanya.
Mentari tidak menghiraukan, dia kembali menatap ke depan mendengarkan dengan fokus. Lalu, Mentari tersentak ketika pundaknya ditepuk oleh seseorang. Mentari menoleh ke belakang kursinya dan mendapati Bara yang tengah melambaikan tangan.
Mentari mengernyit, mengapa Bara ada di aula juga?
Melihat ekspresi wajah Mentari membuat Bara mendekatkan tubuhnya dan berbisik. "Percaya nggak kalau saya juga ikut seleksi?"
Mentari diam, mengalihkan pandangannya dan tidak menghiraukan Bara. Meski dia juga penasaran mengapa orang seperti Bara bisa ikut seleksi, terlebih lagi Bara juga murid pindahan. Ah, Mentari tidak ingin tahu lebih jauh mengenai orang-orang di sekitarnya.
Ketika Mentari mencoba untuk fokus mendengarkan, dia merasakan seseorang berada di sebelahnya. Dan, benar saja Bara menarik kursi yang didudukinya untuk pindah ke samping Mentari. Bara tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. Jika dilihat-lihat, Bara memiliki lesung pipit tipis di kedua pipinya. Dan, baru Mentari sadari bahwa Bara sering sekali membawa kamera dan menggantungkan di lehernya. Ah, iya, Mentari seketika teringat dengan perkataan Helmi yang mengatakan bahwa Bara adalah seorang youtuber.
"Kamu bisa diem nggak sih?" Mentari merasa risih ketika Bara mengarahkan kamera ke wajahnya. Mentari tidak ingin Bara menangkap gambarnya. Mentari tidak suka. "Saya nggak mau di foto."
"Saya nggak foto kamu, Mentari." Bara terkekeh pelan. "Saya lagi foto guru yang ada di depan. Dokumentasi,"
Mentari mengernyit, memicingkan matanya lalu merebut kamera di tangan Bara. Dia sebenarnya tidak tahu cara menggunakan kamera, jadi Mentari menoleh lagi kepada Bara yang tengah mengangkat alisnya sembari tersenyum.
"Kenapa?"
Mentari menggeleng ketika mengembalikan kamera milik Bara. "Gak kenapa-kenapa,"
"Perempuan itu paling jago untuk bohong. Ditanya kenapa, jawabnya selalu gak kenapa-kenapa. Padahal ada apa-apanya. Giliran nggak ditanya, dibilangnya nggak peka. Dasar, perempuan."
"Saya nggak gitu," Mentari protes tidak terima. Fokusnya seketika teralihkan menjadi berbicara dengan Bara.
"Masa?" Bara terkekeh, "Di balik nggak apa-apanya seorang perempuan pasti ada alasannya."
Mentari memilih untuk tidak membalas ucapan Bara lagi. Tidak tertarik dengan apa pun yang diucapkan oleh Bara. Namun, Bara terus mengajak Mentari berbicara, bertanya-tanya padahal Mentari hanya diam saja pura-pura tidak mendengarkan.
"Nanti mampir lagi, ya, ke jalan Braga. Ketemu saya di kedai kopi."
Mendengar jalan Braga disebut berhasil membuat Mentari menoleh. Seketika dia teringat sesuatu yang ingin sekali dia tanyakan kepada Bara. Namun, Mentari rasa ini waktu yang tepat untuk menanyakannya.
"Kamu beneran kerja jadi barista di sana?"
Bara mengangguk sembari mengotak-atik kamera untuk melihat hasil bidikannya. "Kenapa?" tanya Bara.
Mentari terdiam cukup lama, hingga jawabannya membuat Bara geleng-geleng kepala. "Gak apa-apa."
"Penasaran sama saya?" tanya Bara lagi. "Saya baru kok kerja jadi barista, semenjak pindahan."
"Saya nggak tanya."
Bara tertawa pelan, menyandarkankan tubuhnya ke kursi. "Tapi mata kamu kayak penasaran sama saya dan mau tahu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Teen FictionDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...