Rain ☔ 42

150 22 11
                                    

Pintu yang sudah tertutup lama seperti menemukan sebuah kunci. Dengan beberapa kemungkinan yang tidak pasti, dengan berapa harapan yang belum tentu menjadi kenyataan.

—Rain

***

Berdiri di depan banyak orang bukanlah sesuatu yang Mentari inginkan. Dilihat oleh banyak orang dan menjadi pusat perhatian tak pernah menjadi keinginan dalam hidup Mentari. Namun, hari ini, detik ini, Mentari berdiri dan dilihat oleh banyak orang. Riuh tepuk tangan memenuhi aula membuat degup jantung Mentari berdetak lebih cepat dari biasanya.

Mentari tidak berani menatap mata orang-orang yang melihatnya. Bahkan dia masih tidak percaya ketika menjabat tangan seorang Wali Kota Bandung, diberi sebuah penghargaan, yang itu semua jauh sekali dari perkiraan Mentari. Mentari tidak pernah berharap, dia sudah lelah berharap pada ekspektasinya sendiri. Mentari berulang kali patah karena terlalu banyak mengharapkan sesuatu dengan segala kemungkinan kecil terjadi.

Mentari memaksakan bibirnya untuk tersenyum ketika seorang fotografer memberikan aba-aba. Rasanya begitu asing berada dalam suasana yang baru, orang-orang baru, dan ini seperti kejutan yang berhasil mengejutkan Mentari.

"Selamat dan semangat untuk terus berkarya, ya." Pak Ridwan Kamil tersenyum kepada Mentari. Mentari tidak menyangka bahwa dia akan diberikan senyuman dan penghargaan oleh Bapak Ridwan Kamil.

"Terima kasih, Pak."

Mentari tidak tahu harus mengatakan apa. Hingga dia turun dari panggung, dia mendapat ucapan dari beberapa teman-teman satu sekolahnya dan juga guru-guru, termasuk Pak Didi. Sampai ketika akan pulang kembali ke sekolah pun, Mentari masih tidak percaya.

Ah, Mentari hampir saja lupa untuk mencari dan menemui Pak Angga lagi. Ketika semuanya berkumpul untuk menunggu mobil bus yang sengaja disewa oleh sekolah, Mentari izin untuk ke toilet. Sebenarnya Mentari bukan ingin ke toilet, melainkan dia harus menemui Pak Angga.

Dengan medali yang masih menggantung di lehernya, Mentari celingukan di depan gedung aula SMPN 7 Pagi Bandung. Perlombaan tahun ini diselenggarakan di SMPN 7 Pagi Bandung sebagai tuan rumah. Dan, bukan hanya murid SMA saja, melainkan murid SMP juga mengikuti perlombaan dan pencarian bakat.

"Pak!" Mentari berlari ketika melihat Pak Angga hendak masuk ke dalam mobil. Napas Mentari terengah, dia meminta untuk berbicara sebentar dengan Pak Angga.

"Mentari?"

"Pak, tadi Bapak bilang kalau Bapak beberapa kali membeli lukisan hasil karya Ayah saya. Saya ... saya boleh lihat lukisan-lukisannya, Pak?"

"Lukisan?" tanya Pak Angga untuk memastikan.

Mentari mengangguk cepat, berharap bahwa dia bisa melihat lagi lukisan-lukisan hasil karya Ayahnya. Mungkin, Pak Angga bisa membantu Mentari. Setidaknya, lukisan saja. Hanya itu.

"Boleh," Mentari tersenyum, "Begini saja, Mentari." Pak Angga terlihat merogoh saku celana bahannya dan mengeluarkan dompet. "Ini, kartu nama saya. Kamu bisa hubungi saya sewaktu-waktu kamu mau mampir atau ada hal yang kamu butuhkan. Dulu, Ayah kamu sering membantu saya. Sayangnya, kami tidak bisa bertemu lagi."

"Boleh, Pak?" tanya Mentari lagi.

"Boleh, Mentari. Tapi, maaf, sekarang saya harus pergi karena sudah ada janji. Lain kali kita bertemu lagi, ya, Mentari. Saya tunggu kamu mampir ke rumah, ya."

"Terima kasih banyak, ya, Pak."

"Sama-sama."

Senyum Mentari mengembang. Dia menatap kartu nama yang diberikan oleh Pak Angga barusan. Ketika Pak Angga sudah pergi, Mentari mengembuskan napasnya. Setidaknya Mentari masih memiliki harapan untuk bisa melihat lukisan almarhum Ayahnya lagi.

"Mentari!"

Teriakan seseorang dari belakang membuat Mentari menoleh. Dia mendapati Pandu yang berlari ke arahnya.

"Kamu ngapain sih?" tanya Pandu ketika melihat Mentari memegang kartu nama. "Ini bukan sekolah kamu, jangan bikin repot orang lain. Ayo! Udah ditungguin yang lain. Busnya udah datang."

"Ngapain juga kamu ke sini?" tanya Mentari sewot. "Ini juga saya mau balik lagi,"

"Disuruh Pak Didi."

"Memangnya nggak ada yang lain apa Pak Didi nyuruh kamu terus yang nyari saya." Usai mengatakan itu, Mentari berlalu begitu saja berjalan lebih dulu meninggalkan Pandu di belakangnya.

"Mentari!" panggil Pandu mengejar langkah Mentari. "Tar!"

"Apalagi sih? Ini saya juga mau kembali ke bus."

Beberapa saat Pandu melihat Mentari, dia mengulurkan tangan ke hadapan Mentari. Melihat hal itu membuat dahi Mentari berkerut, tidak mengerti dengan apa yang dilakukan oleh Pandu.

"Selamat!" Mentari masih kesulitan membaca situasi saat ini. Mentari hanya menatap tangan dan wajah Pandu bergantian. "Selamat, Mentari." ulang Pandu lagi, kedua sudut bibirnya sedikit terangkat. "Dari awal saya percaya kamu bisa."

Cukup lama keduanya terdiam. Tangan Pandu masih terulur di udara. Sedangkan Mentari diam, matanya melihat medali yang Pandu kenakan. Lalu, melihat medali yang berada di lehernya. Hingga detik berikutnya, tangan Mentari terangkat. Ragu, dia menempelkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Pandu. Semuanya berlangsung begitu cepat.

Mentari tidak mengatakan apa-apa. Dengan cepat dia menarik tangannya kembali dari tangan Pandu dan berlalu begitu saja meninggalkan Pandu menuju bus.

***

Note:

Kalau kamu jadi Mentari, mau pilih Barameru atau Pandu?

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang