Rain ☔ 44

95 18 17
                                    

Pertahananku mulai runtuh. Jatuh dalam sekejap tanpa pernah aku duga.

—Pluviophille

***

"Nggak apa-apa, kan?"

Mentari mengangguk, mengusap tubuhnya sendiri yang terasa dingin. Dia berdiri di samping Pandu. Seketika teringat dengan kejadian beberapa saat yang lalu ketika dia benar-benar ketakutan. Mentari tidak tahu bagaimana jika Pandu dan Bara tidak datang tepat waktu.

"Makanya kalau udah tahu jalan sepi nggak usah dilewati, bahaya. Kamu itu perempuan lho, Tar. Kalau tadi kenapa-kenapa gimana coba? Kalau tadi saya sama Bara nggak datang ke sana gimana?"

Mentari diam mendengarkan. Apa yang dikatakan Pandu memang benar, lagi pula dia juga sedang tidak ingin berbicara setelah kejadian tadi. Rasanya benar-benar menakutkan dan tidak bisa Mentari bayangkan. Mentari menyesal telah memilih jalan alternatif untuk pulang, pada akhirnya dia tetap saja pulang terlambat.

"Hujannya masih deras, udah malam juga. Nanti kamu pulang sama saya aja naik sepeda."

"Nggak usah—"

"Mau kayak tadi lagi?" Pandu mengangkat alis membalas tatapan Mentari.

"Nggak."

"Yaudah saya antar."

Mentari menghela napas, mengeratkan pegangan pada tali ranselnya. Kini mereka sedang berteduh di depan sebuah ruko yang sudah tutup, juga ada beberapa pengendara motor yang ikut berteduh di sana. Sudah lima belas menit menunggu, tapi hujan tak kunjung reda.

Mengingat kejadian sore tadi, Mentari tidak tahu mengapa Pandu dan Bara tiba-tiba saja datang menolongnya. Mentari tidak tahu mengapa harus mereka yang menolong Mentari, mengapa harus mereka yang membuat Mentari berutang budi. Namun, apa boleh buat? Mentari tidak bisa menolak pertolongan mereka yang sudah baik kepadanya.

Cukup lama keduanya terdiam menatap derasnya hujan yang jatuh ke aspal. Aroma petrikor memenuhi indra penciuman, juga deras hujan yang rasa-rasanya menyenangkan apabila Mentari menari di bawahnya. Namun, Pandu melarang Mentari untuk pulang lebih dulu dan bermain hujan. Dan, Mentari justru menurut saja apalagi ketika Pandu mengingatkannya dengan kejadian sore tadi.

"Nih, pakai!" Pandu menyerahkan almamater OSIS yang berada dalam tasnya kepada Mentari. "Pakai!" titahnya lagi ketika Mentari justru hanya diam saja.

Mentari tidak tahu apa yang ada di pikiran Pandu saat ini. Mentari tidak tahu mengapa Pandu mau membantu dan menolongnya padahal dulu saja Pandu mengemis untuk meminta bantuan kepada Mentari.

"Mau masuk angin terus besok nggak bisa sekolah?" tanya Pandu lagi ketika Mentari menggelengkan kepalanya.

"Kamu aja yang pakai. Itu, kan, almamater kebanggaan kamu."

"Ya, terus emangnya salah kalau dipakai dalam keadaan darurat?" balas Pandu lagi. "Udah pakai aja, besok bisa kembalikan ke saya. Asal jangan lupa kembalikan aja, mahal itu harganya. Berharga juga buat saya."

"Nggak usah, kamu aja yang pakai. Ngapain juga kamu kasih pinjam sesuatu yang berharga buat kamu untuk saya?"

Pandu menghela napas, mencoba untuk bersabar dalam situasi seperti ini. Jika terus berdebat, mungkin akan lebih lama lagi dan tidak akan berakhir. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Pandu menyampirkan almamater miliknya ke kepala Mentari membuat perempuan itu mengaduh karena wajahnya tertutupi.

"Aduh—"

"Kalau saya bilang pakai, ya, dipakai. Nggak usah ngeyel kalau darurat kayak gini."

Mendengar suara Pandu dan tatapan matanya yang tegas membuat Mentari mendadak kehilangan energi untuk membalasnya. Namun, Pandu tetaplah Pandu yang selalu terlihat menyebalkan di mata Mentari. Mentari terpaksa memakai almamater kebanggaan milik Pandu. Almamater yang selalu membuat Mentari muak tiap kali melihatnya di sekolah, tapi justru kali ini terasa menghangatkan.

"Em ... kenapa tadi kamu tiba-tiba nolongin saya?"

Pandu menoleh mendengar pertanyaan Mentari. Sekilas, lalu dia menatap ke arah jalanan. "Saya baru aja mau pulang, terus dengar suara minta tolong. Saya cari, suaranya dari gang. Yaudah, saya tolongin kamu."

"Terus kenapa ada Bara dan Helmi juga?" tanya Mentari lagi.

Ah, mengingat Bara dan Helmi, Mentari tidak tahu keberadaan kedua temannya itu karena ketika di perjalanan dikejar oleh preman, justru mereka terpisah jalan dan berpencar.

"Nggak tahu," Pandu mengangkat bahu.

Cukup lama Mentari memerhatikan Pandu dari samping. Mentari tidak tahu harus membalas seperti apa yang sudah dilakukan oleh Pandu dengan mau membantunya. Mentari mengira bahwa Pandu mungkin tidak akan memedulikannya dan berakhir meninggalkan. Mengingat Mentari dan sikapnya yang terlampau jual mahal dan mungkin saja pernah menyakiti atau menyinggung lelaki itu.

"Punggung kamu ... kena pukul, kan, tadi?" Pandu menoleh melihat Mentari, kali ini wajah Mentari tidak sedingin biasanya. Ada perasaan bersalah yang terlihat di mata Mentari saat ini. "Sakit nggak?"

"Nggak, biasa aja."

Telunjuk Mentari menekan punggung Pandu membuat lelaki itu mengaduh hingga beberapa orang yang ada di sana jadi menoleh ke arah mereka. Mentari hanya memasang wajah tanpa dosanya, lalu menekan punggung Pandu sekali lagi menggunakan telunjuknya untuk memastikan.

"Aduh! Apaan sih, Tar?"

"Bukannya tadi kamu bilang nggak sakit? Belum dipukul padahal."

"Sakitlah," Pandu berdecak, meraba punggungnya yang terasa nyeri. "Dikit,"

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang