Rain ☔ 45

106 21 14
                                    

Sebentar lagi, aku akan keluar dari labirin yang mengerikan.

-Rain

***

"Kemarin itu aku habis dari rumah Niar. Terus pas di perjalanan aku keserempet motor karena macet udah sore, ribet banget jalanan kemarin. Pas aku keserempet, aku nggak sengaja ketemu Bara di jalan dan dia yang tolongin aku. Yaudah deh aku akhirnya dianter pulang sama Bara." Helmi berapi-api menceritakan apa yang sudah terjadi kemarin. "Tapi, nggak parah sih. Cuman lecet lutut, siku, sama ini nih," Helmi menunjuk pergelangan kakinya yang terlihat membiru. "Keseleo, terus kaca spion motor yang nyenggol aku pecah. Parah nggak sih? Nggak, kan, biasa aja, ya?"

Mentari masih setia mendengarkan. Jika biasanya cerita Helmi selalu membuat Mentari menghela napas panjang, kali ini Mentari justru mendengarkannya dengan serius. Helmi juga sempat tidak percaya karena justru Mentari mau mendengarkan ceritanya bahkan yang meminta Helmi untuk menceritakan kejadian kemarin.

"Ya, aku seneng banget dong, Tar, dibonceng Bara sore-sore. Udah kayak punya doi gitu. Bara baik banget, dia tolongin aku dan antar pulang. Sampai aku terharu-"

"Yang bagian itu nggak usah diceritain deh, langsung ke intinya aja. Kenapa kamu sama Bara bisa tahu dan tolongin aku kemarin?" potong Mentari yang mulai lelah mendengar cerita Helmi karena justru menceritakan bagaimana perasaannya ketika berbonceng bersama Bara.

"Tapi, itu penting, lho-oke, oke, aku skip bagian itu." Helmi melayangkan cengiran kecil ketika melihat tatapan Mentari. "Jadi, setelah aku dibonceng Bara dalam perjalanan pulang ke rumah aku, eh, tiba-tiba telinga aku ini dengar suara orang minta tolong pas mau lewat gang. Bara juga dengar dan berhentiin motornya. Bara nanya ke aku, aku nanya ke Bara, tapi kita sama-sama nggak tahu dan geleng-geleng kepala. Terus pas dengar teriakan lagi, ternyata dari gang. Kaget pas ternyata ada preman-preman dan aku lihat kamu,"

Mentari menganggukkan kepalanya setelah mendengar cerita Helmi. Dia menatap luka di siku dan lutut Helmi yang dibalut perban.

"Kalau sakit padahal nggak usah sekolah, istirahat di rumah, Hel."

"OEMJI! DEMI APA MENTARI PERHATIAN SAMA AKU-ADUH!" Helmi meringis ketika sikunya mengenai meja. Saking tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Mentari, Helmi sampai geleng-geleng kepala takjub. "Heh, kamu Mentari, kan? Mentari, kan?"

Mentari mengangguk, dahinya berkerut melihat ekspresi hiperbola Helmi. Apa dia salah berbicara? Apa yang salah? Mentari hanya sedang berusaha untuk membayar budinya saja. Mentari berpikir bahwa selama ini Helmi memang baik. Terlebih kejadian kemarin membuat Mentari tidak bisa berhenti berpikir. Dan, ternyata sendirian juga tidak selamanya menyenangkan.

"Kenapa sih?"

"Nggak kok, nggak apa-apa. Cuman, aku agak heran aja. Kemarin kamu nggak kepentok atau dipukul sama preman-preman itu, kan?"

Mentari menggeleng.

"Tapi, makasih, ya, Hel. Berkat kamu juga aku jadi selamat."

"APA? SUMPAH DEH, AKU NGGAK SALAH DENGAR, KAN? SELAMA SETENGAH SEMESTER AKU DUDUK DAN KENAL SAMA KAMU, BARU KALI INI AKU DENGAR UCAPAN MAKASIH SECARA LIVE DARI KAMU, TAR!"

Suara Helmi yang mengalahkan toa supporter bola membuat teman-temannya yang lain jadi ikut menoleh dan menegur Helmi karena pagi-pagi sudah berisik sekali. Sedangkan Helmi hanya melayangkan cengiran andalannya.

"Apa sih, Hel, lebay tahu nggak?"

"Terserah deh, dibilang lebay atau apa, tapi-aduuuuh!"

Mentari meringis ketika sikunya tersenggol. Wajah Helmi memerah, siap untuk meledakkan amarahnya pagi ini juga.

"IH, TARYO! KAMU KALAU NYAPU, YA, NYAPU AJA. NGGAK USAH NYENGGOL SEGALA. SAKIT TAHU!"

"Ya, maap, Hel. Ngantuk, nggak lihat. Nggak sengaja juga." Taryo dengan muka bantalnya menatap Helmi malas. Bukan tanpa alasan Taryo melakukan tugas piketnya karena hari ini ada jam pelajaran oleh wali kelas, dan sudah pasti Niar-selaku sekretaris kelas sekaligus merangkap menjadi pengadu masalah-masalah teman sekelasnya yang tidak mau melaksanakan tugas piket-dipastikan akan melapor.

Helmi mendumel, pagi-pagi sudah dibuat kesal. Pertama, kepentok meja. Kedua, kesenggol Taryo. Dan ketiga, "ADUUUH! TARYO KAM-eh, Bara?" Helmi menyunggingkan senyum termanisnya ketika ujung sapu yang dipegang oleh Bara mengenai sikunya.

"Oh, kena, ya? Maaf, ya, Hel. Nggak sengaja sumpah, habisnya kamu sih, geseran dong. Sempit tahu ini," Bara mendorong meja milik Helmi untuk digeser agar bisa memberikan ruang dan jalan. "Eh, Tari, selamat pagi!"

"Pagi!" balas Mentari membuat senyum Bara semakin lebar.

"Buat Mentari aja nih, aku nggak, Bar?"

"Pagi, Helmi!" Bara memaksakan senyumnya. "Eh, kamu kok sekolah? Bukannya kemarin keserempet dan luka-luka?"

"Pagi, Barakuuu. Sekolah dong, kan, mau ketemu Bara." Helmi mengedipkan sebelah matanya membuat Bara meringis ngeri.

"Kamu, tuh, Hel, kalau ke Bara aja manisnya minta ampun. Giliran kesenggol dikit sama aku, marah-marah udah kayak macan betina. Parah kamu, Hel. Parah sumpah!" Taryo merajuk, melanjutkan lagi tugas piketnya.

"Bodo amat!"

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang