Rain ☔ 50

84 22 9
                                    

Ketika aku sudah mulai membuka hatiku, tapi justru kamu tidak pernah lagi ingin menepi, bahkan untuk mampir sekali pun.

—Rain

***

"Tar! Mentari!"

Langkah Mentari terhenti ketika mendapati Pandu berlari menghampirinya. Mentari mengerutkan kening, ada apa Pandu mencarinya.

"Tar, kemarin Ayah bilang kalau dia lupa kasih sesuatu sama kamu," tangan Pandu memberikan sebuah papperbag berwarna cokelat kepada Mentari. "Ini, titipan buat kamu."

Belum sempat Mentari membuka papperbag yang diberikan Pandu, lelaki itu sudah menahannya lebih dulu. "Eh, dibuka di rumah aja. Pesan Ayah gitu katanya,"

"Oh, gitu, ya?" Mentari sempat kebingungan, tapi dia menurut saja karena ini pemberian dari Pak Angga yang sudah baik kepadanya. Pandu masih berdiri di hadapan Mentari membuatnya bingung harus bersikap seperti apa mengingat dirinya yang malu karena ketahuan memerhatikan Pandu ketika di kantin tadi.

"Kamu mau pulang, Tar?" Mentari mengangguk, "Yaudah, ayo bareng aja. Mau?" tawar Pandu membuat Mentari mengerutkan keningnya.

"Nggak usah," tolak Mentari menggelengkan kepalanya. "Emangnya kamu mau pulang juga?"

"Iya, biar sekalian ayo kalau mau."

"Bukannya tiap pulang sekolah kamu selalu rapat OSIS, ya?"

"Mulai hari ini udah nggak," Kerutan di dahi Mentari semakin terlihat jelas. Padahal ini masih kelas sebelas semester dua dan seharusnya Pandu masih menjabat sebagai Ketua OSIS. Kecuali jika sudah berada di kelas dua belas yang mengharuskannya mencari generasi OSIS yang baru. "Udah, ah. Ayo, mau nggak? Sekalian saya traktir kamu hari ini."

Belum sempat Mentari menyetujuinya, tapi Pandu sudah menarik tangannya untuk ke parkiran. Mentari sempat menolak, tapi Pandu mengatakan bahwa dia akan memberikan traktiran kepada Mentari dan tidak akan mengganggunya lagi. Meski sebenarnya Mentari juga tidak mengerti dengan sikap Pandu, tapi Mentari hanya terpaksa mengikutinya. Apalagi setelah Pandu membawa nama Pak Angga dan Mentari merasa tidak enak.

Dengan menggunakan sepeda putih kesayangan milik Pandu, Mentari berdiri di belakang sepeda Pandu, memegang pundak lelaki itu agar tidak terjatuh. Mentari merasa risih ketika mendapat tatapan aneh dari orang-orang ketika dia pergi bersama Pandu. Seolah-olah tatapan mereka mengatakan mengapa harus perempuan seperti Mentari yang sekarang naik sepeda dengan Pandu.

Pandu memberhentikan sepedanya di sebuah kedai es kepal. Membeli dua es kepal untuknya dan untuk Mentari. Lalu, mengajak Mentari duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana.

"Si Ujang tumben gening datengnya berdua? Itu teh siapa, Ujang?" tanya Mang Yeye si penjual es kepal langganan Pandu. "Kabogohnya?" seru Mang Yeye membuat Pandu tertawa.

("Si Ujang tumben kok datengnya berdua? Itu siapa, Ujang? Pacar, ya?")

"Lain, Mang. Babaturan sakola ieu mah." ujar Pandu di sela tawanya.

("Bukan, Mang. Ini temen sekolah.")

"Oh, temen, ari pacar mah beda deui merennya, Jang?" Mang Yeye memberikan cengiran pada Mentari yang hanya dibalas senyuman kecil saja. "Eh, geulis gening si Neng teh atuh." ujarnya lagi memuji Mentari.

("Oh, temen, kalau pacar mah beda lagi ya, Jang?"
"Eh, kok cantik ya si Neng.")

"Yeh, sok bisa wae si Amang ari ka awewe geulis mah. Hayu atuh, Mang. Dua weh,"

("Bisa aja si Amang kalau ke perempuan cantik. Ayo, Mang. Dua aja,")

"Hayu, siap!"

"Nuhun, Mang!" ujar Pandu ketika es kepalnya sudah jadi.

("Makasih, Mang!")

Pandu memberikan es kepal yang langsung diterima oleh Mentari. Tidak banyak berbicara, Mentari hanya menikmati es kepal sembari melihat jalanan. Tidak ada topik yang harus Mentari bicarakan dengan Pandu. Toh, lagi pula Pandu hanya ingin mentraktirnya saja.

"Saya sering ke sini. Biasanya Ara dan Ira yang minta saya beliin es kepal Mang Yeye," Pandu mulai bercerita di sela kegiatan menikmati es kepalnya. "Es kepal terbaik se-Bandung ini mah," Pandu terkekeh dengan perkataannya sendiri.

"Hari ini kamu kenapa? Kok traktir saya? Terus, di kantin juga kamu traktir temen-temen kamu, kan?" tanya Mentari karena sedari tadi justru itu yang ingin dia tanyakan pada Pandu.

"Traktir temen itu nggak harus ada alasan, kan?"

"Yaiya, tapi tumben aja." balas Mentari lagi yang masih bingung dengan jawaban Pandu. "Uang dari Ayah kamu, kan?"

Pandu menggeleng, tersenyum kecil. "Saya lagi punya rezeki aja."

"Aneh," cibir Mentari membuat Pandu justru tertawa.

"Habis ini jalan-jalan mau nggak, Tar?"

"Ke mana?"

"Ke mana aja."

"Braga?" tanya Mentari meminta persetujuan.

"Emang ada apa sih di Braga?"

Mentari menggelengkan kepalanya. Braga bagi kebanyakan orang memang biasa saja, tapi tidak untuk Mentari. Braga selalu menjadi jalan favorit Mentari.

"Nggak ada apa-apa. Cuman suka aja."

"Suka?" Pandu mengerutkan keningnya, "Suka saya maksudnya?"

"Uhuk!" Mentari tersedak es kepal, menepuk dadanya berkali-kali. Dia melirik Pandu yang justru tertawa terbahak. Sialan, memang!

"Bercanda, Tar. Sumpah, bercanda doang. Mau tau aja reaksi perempuan yang sukanya sendirian kira-kira gimana kalau dicandain kayak gitu sama laki-laki." Melihat Mentari yang hanya diam saja membuat Pandu meredakan tawanya. "Yaudah, ayo kita ke Braga."

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang