Aku seperti berada dalam sebuah labirin. Sampai detik ini, yang kutemukan hanyalah dinding yang tinggi, bukan sebuah pintu yang mengarahkan aku untuk keluar dalam labirin itu. Namun, di tengah putaran aku mencari pintu labirin, aku tidak sendiri di sana. Ada tangan-tangan yang melambai padaku, hanya saja aku tak bisa melihat dengan jelas siapa mereka. Dan, aku terjebak dalam labirin yang kuciptakan sendiri.
—Pluviophille
***
"Maaf sebelumnya, Pak. Saya nggak sengaja dengar percakapan Bapak dengan Bapak yang tadi. Kalau saya nggak salah dengar, tadi Bapak bilang kalau tanda pengenal lukisan ini persis seperti tanda pengenal lukisan almarhum sahabat Bapak. Maksud Bapak, sahabat Bapak itu siapa ya, Pak?"
"Dulu, almarhum sahabat saya seorang pelukis. Saya beberapa kali membeli lukisan yang dibuatnya, bagus sekali. Dan, tanda pengenalnya persis sekali dengan tanda pengenal dalam lukisan itu."
Mentari mendadak bergeming di tempat. Perkataan pria paruh baya dengan pakaian batik di hadapannya ini membuat Mentari merasa bahwa beliau mengenali Ayahnya.
"Kalau boleh tahu namanya siapa, Pak?"
Baiklah, Mentari terlalu banyak bertanya. Namun, dia harus memastikannya. Mentari ingin tahu siapa orang-orang terdekat Ayahnya. Sejak dulu, Mentari tidak tahu banyak tentang Ayahnya. Mentari memang dekat dengan seorang Ayah, tapi Mentari tak pernah menyadari atau mencari tahu apa saja dan siapa saja yang dekat dengan Ayahnya.
"Abdi—"
"Ayah..." Satu kata yang keluar dari mulut pria paruh baya di hadapan Mentari berhasil membuat tangan Mentari gemetar. Matanya berkaca-kaca, Mentari selalu sedih setiap kali memori bersama Ayahnya terputar di kepala. "Bapak kenal dengan Ayah saya?"
"Ayah kamu?" Pria paruh baya itu bertanya untuk memastikan. "Abdi Wiraguna, beliau Ayah kamu?"
Mentari mengangguk antusias, dia mengusap air mata yang jatuh di pipinya begitu saja. Senyumnya mengembang seketika. Dan, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Mentari tidak butuh alasan untuk tersenyum ketika mendengar perkataan orang lain.
"Oalah, benar? Nama kamu siapa?"
"Mentari, Pak. Dan, lukisan yang tadi Bapak bilang itu punya saya."
"Senang bertemu dengan kamu, Mentari." Pria paruh baya itu menepuk pundak Mentari berkali-kali. "Perkenalkan, saya Pak Angga, teman Ayah kamu."
Belum sempat Mentari bertanya lagi, seorang siswa SMP menghampiri Pak Angga. "Pak, permisi. Bapak dicari untuk ikut foto bersama di depan aula."
"Oh, sekarang, ya?"
"Iya, Pak. Udah ditunggu semuanya."
Pak Angga beralih menatap Mentari. "Mentari, saya ke depan dulu, ya. Nanti kita bertemu lagi,"
Mentari mengangguk, dia berharap bisa berbicara lagi dengan Pak Angga. Mentari ingin sekali bisa melihat lukisan-lukisan milik Ayahnya lagi. Bahkan, dulu Ayahnya pernah mengatakan bahwa beliau ingin membuka sebuah galeri lukisan. Namun, sayangnya sampai detik ini belum terwujud hingga beliau sudah tidak ada.
Mentari mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Memastikan bahwa dia harus terlihat baik-baik saja. Mentari tidak boleh terlihat buruk dan menyedihkan di depan banyak orang. Setidaknya, Mentari harus pandai untuk berpura-pura. Menangis di balik bantal, tersenyum di lingkungan.
"Mentari!"
"Tari!"
Merasa namanya dipanggil, Mentari menoleh ke belakang mendapati Barameru dan Pandu yang memanggil Mentari. Disusul oleh Pak Didi dan murid-murid SMAN 19 Bandung lainnya. Memanggil Mentari secara bersamaan membuat Bara dan Pandu saling pandang. Bara mendengus, Pandu menghela napas. Sepertinya jika terus dipersatukan tidak akan beres.
"Mentari, ayo masuk ke aula. Sudah mau diumukan pemenangnya." ucap Pak Didi ketika yang lainnya sudah mulai memasuki aula. Mendadak ramai apalagi ketika Wali Kota Bandung sudah datang dan kamera mulai memotret memancarkan flash-nya. Beberapa orang memberikan jalan ketika Wali Kota Bandung memasuki aula. Senyum, ramah menyapa murid-murid semua.
Bara tidak mau kalah dengan yang lain, dia ikut memotret Wali Kota Bandung dengan kamera yang menggantung di lehernya. Semua sudah masuk memenuhi aula, hanya saja yang boleh masuk adalah para peserta lomba beserta guru-guru saja.
"Mentari?" Mentari tersentak dari lamunannya, dia menoleh mendapati Pandu yang baru saja memanggilnya. "Ayo!" ajak Pandu karena melihat Mentari justru hanya diam ketika orang-orang sudah mulai masuk ke aula.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Teen FictionDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...