Rain ☔ 12

3.7K 139 4
                                    

Seharusnya kamu tahu sejak awal bahwa kebohonganku pertanda bahwa aku tidak memiliki frekuensi yang sama denganmu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seharusnya kamu tahu sejak awal bahwa kebohonganku pertanda bahwa aku tidak memiliki frekuensi yang sama denganmu.

—Mentari

***

"Makasih, ya, Pak." Usai menerima uang kembalian dari Pak Kadir, tempat yang Mentari tuju saat ini adalah bawah pohon pinggir lapangan.

Matahari tidak kelihatan sejak pagi, bersembunyi di balik awan atau mungkin malu menyapa Mentari hari ini. Mentari membuka roti yang tadi dia beli di kantin Pak Kadir. Matanya menatap sekeliling lapangan dengan mulut sibuk mengunyah. Sesekali Mentari juga butuh untuk mencari inspirasi. Tempat yang paling aman baginya adalah bawah pohon pinggir lapangan. Mentari duduk sendiri, menikmati semilir angin yang berembus.

"Saya tahu kamu bohong, Mentari."

Terlalu lama asyik dengan pikirannya membuat Mentari terkejut mendapati Bara tiba-tiba saja sudah ada di sampingnya. Bara tersenyum kecil, mengalihkan pandangan ke lapangan dari wajah Mentari.

"Pertama kali saya bicara sama kamu itu waktu hujan, waktu kamu lagi makan roti, dan ketika itu saya kembalikan sketchbook punya kamu."

Mentari tidak mengerti apa maksud Bara. Dia selalu saja muncul tiba-tiba di hadapan Mentari. Mentari tidak tahu mengapa Bara menjadi seperti Helmi yang ingin berteman dengannya.

"Sekarang kamu juga lagi makan roti, bedanya lagi nggak hujan." Senyum Bara melebar ketika menatap Mentari. Dia mengambil bungkus roti yang Mentari selipkan di bawah botol air mineral milik Mentari. "Roti rasa kacang." Bara membaca bungkus roti itu membuat Mentari menghela napas.

Mentari merebut bungkus roti yang akan dia buang nanti ketika menemukan tempat sampah. Mentari menatap Bara dengan tatapan tidak suka. Seolah mengatakan bahwa Bara tidak berhak mengurus kehidupannya.

"Saya yakin roti yang kamu makan waktu itu juga rasa kacang. Aneh, ya, bilangnya alergi kacang, tapi suka makan roti kacang." Bara tertawa hingga matanya ikut menyipit. "Pura-pura bodoh dan nggak tahu apa-apa ternyata menyenangkan."

"Kamu—"

"Cokelat yang saya kasih nggak ada racunnya kok. Kamu nggak harus bohong dan bilang alergi kacang padahal kenyataannya kamu hanya nggak mau menerima pemberian cokelat dari saya. Kenapa?"

Mentari memejamkan matanya, menghela napas ketika mendengar semua perkataan Bara. Mentari berbohong pada Bara dan juga Helmi. Ternyata Bara tidak mudah dibohongi.

"Saya hanya nggak mau berutang budi sama kamu." Kalimat itu yang keluar dari mulut Mentari untuk menjelaskan kebohongannya. "Saya cuma nggak mau ribet aja,"

"Bohong itu nggak akan membuat kamu keren, Mentari. Terus, kamu nggak akan minta maaf sama saya dan juga Helmi?" tanya Bara ketika Mentari sudah menghabiskan rotinya. "Saya bingung, Helmi itu satu-satunya orang yang dekat sama kamu. Tapi, Helmi nggak tahu apa-apa soal kamu. Bahkan perihal kacang juga Helmi nggak tahu. Serahasia apa sih hidup kamu, Tar?"

"Bisa nggak kalau kamu itu nggak usah selalu ikut campur urusan saya? Bahkan saya nggak pernah merepotkan kamu, saya nggak pernah—"

"Kamu merepotkan saya, Mentari. Sketchbook punya kamu yang saya temukan waktu itu merepotkan saya karena harus membuat saya mengembalikannya sama kamu. Tapi, merepotkan kali itu menyenangkan buat saya sampai bisa berbicara dengan kamu."

Sungguh, Barameru sangat menyebalkan sekali di mata Mentari. Mentari tidak pernah menyangka bahwa seorang Barameru, murid pindahan itu mencoba untuk lebih jauh mengenal Mentari. Jujur saja Mentari tidak suka dengan cara Bara meminta menjadi temannya.

"Lain kali, jangan suka bohong, ya, dosa."

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang