Katakanlah, katakan apa yang ingin kamu katakan. Apa pun itu, percayalah bahwa saat ini perkataan itu tak memiliki pengaruh apa-apa pada hatiku. Tidak tahu kalau esok atau lusa. Kalau semesta berubah pikiran, aku hanya bisa mengikutinya.
—Mentari
***
Langkah kaki Mentari mulai menyusuri jalanan yang cukup ramai mengingat malam ini adalah malam minggu. Bandung selalu ramai dan Braga selalu jadi yang istimewa dari luasnya Bandung. Jalan Braga; jalan utama dan maskotnya kota Bandung. Bagi Mentari, Bandung tidak hanya sekadar kota yang dikenal sebagai kota hujan, melainkan lebih dari itu. Bandung sangat istimewa untuk hidup Mentari. Ada banyak kenangan di Bandung yang tidak mungkin Mentari lupakan begitu saja. Kota kelahiran yang sampai detik ini selalu membuatnya merasa istimewa.
Mentari memang tidak suka akan keramaian. Namun, Mentari tidak tahu bahwa ramainya jalan Braga seperti candu bagi Mentari. Hanya Braga yang selalu membuat Mentari betah di sana berlama-lama. Sendirian dan Mentari menemukan ketenangan di sana. Ramai jalanan Braga memang mengusik telinga Mentari, tapi tidak dengan hatinya.
Mentari duduk di sebuah kedai kopi yang berada di jalan Braga. Sebenarnya dia sedang tidak ingin meminum kopi, tapi kelihatannya cukup menarik jika Mentari membuat sketsa sebuah kedai kopi. Mentari memesan satu cup hot cappuccino. Dia mengeluarkan sketchbook dari dalam tasnya.
Kedai kopi cukup ramai, jadi Mentari memutuskan untuk duduk di bagian paling pojok sendiri. Mentari membelakangi orang-orang yang sedang tertawa bahagia, menikmati kopi bersama kawan-kawan, tertawa lepas seolah lupa dengan masalah-masalah di rumah.
"Hei,"
Dari ekor matanya, Mentari melihat seseorang berada di hadapannya saat ini. Suaranya kembali terdengar membuat Mentari refleks menoleh.
"Hot cappucino 'kan?"
Dunia terasa sempit bagi Mentari saat ini ketika harus menemukan Barameru lagi di tempat yang berbeda. Dengan pakaian ala barista, Bara duduk tanpa meminta persetujuan Mentari sembari memberikan pesanan kopi Mentari.
"Kaget, ya?" Bara terkekeh, melepas topi hitam di kepalanya. "Nggak usah kaget gitu, saya barista baru di sini. Senang ketemu kamu,"
Mentari pernah beberapa kali ke kedai kopi di jalan Braga beberapa kali. Meski tidak sering, tapi Mentari pernah untuk sekadar meminum kopi melepas penat sehari-hari. Mentari tidak ingin naif, dia memang tidak suka dengan keramaian. Namun, yang Mentari maksud bukan berarti dia hanya berdiam diri di rumah tanpa mau menemui orang-orang. Sesekali Mentari juga perlu mencari udara segar, mencari insipirasi untuk membuat sketsa. Hanya saja sekarang dia lebih banyak membatasi kehidupannya dari keramaian. Mentari hanya tidak suka diperhatikan banyak orang.
"Dunia berasa sempit, ya, saya harus ketemu kamu di sini." Mentari berucap santai, menerima hot cappuccino pesanannya untuk diminum. Sayang kalau tidak diminum.
Bara tidak menggubris perkataan Mentari, dia justru bertanya perihal rasa kopinya. "Gimana, enak?"
"Biasa aja."
"Sendiri?"
"Kelihatannya?" tanya balik Mentari.
"Memastikan aja, siapa tahu—"
"Kamu masih mau di sini? Nggak lanjut kerja? Saya mau sendiri, bisa tolong pergi?" Mentari mengusir Bara untuk pergi dari hadapannya sekarang. Mentari sudah bilang bahwa dia tidak suka diganggu. Namun, Bara terus saja mengganggunya.
"Dinikmati, ya, kopinya. Sepahit apa pun rasa kopi, bisa bikin penikmatnya senang. Oh iya, sering-sering mampir ke sini, ya. Saya akan senang kalau kamu jadi pengunjung tetap."
"Kenapa jadi kamu yang ngatur?" Mentari mulai sewot membuat Bara terkekeh.
Telunjuk Bara mengetuk meja dua kali, tersenyum penuh arti kepada Mentari. "Selamat menikmati hot cappucino ala Barameru, Cantik."
Cantik.
Cantik. Satu kata berhasil membuat Mentari ingin muntah saat ini juga.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Novela JuvenilDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...