Rain ☔ 51

103 17 3
                                    

Aku semakin dekat pada titik harapan yang bisa membuatku jatuh dalam kejapan.

—Rain

***

Karena langit sudah mendung dan sangat gelap, mereka terpaksa menunda jalan-jalan sore ke jalan Braga dan memilih untuk pulang. Sebenarnya Mentari sudah meminta agar tidak diantar pulang, tapi Pandu memaksanya dan justru mengingatkan Mentari dengan kejadian saat itu—ketika Mentari diganggu oleh preman-preman. Akhirnya Mentari memilih untuk mau diantar pulang oleh Pandu. Jujur saja Mentari tidak enak jika diantar pulang oleh Pandu, dia takut jika hujan segera turun dan Pandu akan kehujanan di jalan setelah mengantar Mentari. Mentari hanya berharap bahwa hujan mau menunda waktunya sampai mereka benar-benar pulang ke rumah masing-masing.

Mentari turun dari sepeda Pandu dan menghela napas ketika melihat mobil sedan hitam terparkir lagi di depan rumahnya. Mentari mengeratkan pegangan pada tali ransel. Melihat raut wajah Mentari membuat Pandu ikut menoleh ke arah pandang Mentari.

"Tar!" Pandu melambaikan tangannya di depan wajah Mentari ketika perempuan itu justru melamun. "Mentari?"

Seketika Mentari tersadar bahwa masih ada Pandu di hadapannya. Cepat-cepat Mentari bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa dan tidak ada apa-apa.

"Yaudah, kamu pulang aja takut hujan. Makasih!" Mentari langsung masuk ke rumahnya tanpa mendengar balasan apa-apa lagi dari Pandu. Mentari berharap bahwa Pandu segera pergi dari rumahnya. Mentari tidak ingin Pandu melihat dirinya yang akan terlihat sangat buruk sekali.

"Kamu hati-hati ya, Sayang! Kabarin aku kalau udah nyampe."

Tangan Mentari mengepal kuat. Dadanya bergemuruh hebat. Hati Mentari kembali mendung ketika lagi dan lagi harus melihat kenyataan menjijikan sekaligus menyakitkan hatinya. Jika boleh Mentari memilih, dia ingin pergi sejauh yang dia bisa. Namun, Mentari tidak bisa melakukan apa-apa. Dia tahu bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu yang Mentari tidak bisa pastikan ke depannya akan seperti apa.

"Iya, Sayang, pasti." balas pria paruh baya dengan kemeja berwarna sky blue melekat di tubuhnya. Pria itu melihat Mentari, tersenyum dan melambaikan tangannya. "Halo, Mentari!"

Demi apa pun, Mentari bahkan tidak pernah sudi ketika mendapat sapaan dari pria yang tak lain adalah kekasih gelap ibunya sendiri. Berulang kali Mentari meminta agar ibunya memutuskan hubungan dengan pria itu, tapi tidak pernah didengarkan dan justru berakhir Mentari yang kena marah.

Mentari hanya diam membiarkan pria itu melewatinya begitu saja, seperti biasanya. Mentari tidak akan membalas sapaan pria yang sudah menggoreskan luka pada hatinya. Mentari tidak akan memberikan senyuman hangat sambutan untuk pria yang sudah berengsek mendua. Mentari tidak akan memberikan restu apa pun untuk ibunya dengan pria yang menurut Mentari bajingan.

"Bu, mau sampai kapan sih Ibu kayak gini?" Mentari sudah tidak tahan lagi. Mentari muak dengan semua yang telah dilihatnya selama ini. "Mau sampai kapan Ibu merusak harga diri Ibu sendiri?"

"Apa kamu bilang?" Sarah—ibu Mentari—menatap Mentari tajam. "Kamu bilang Ibu nggak punya harga diri, begitu?"

"Bu, aku ini anak Ibu. Aku tahu siapa Ibu, tapi aku bahkan nggak kenal siapa Ibu yang sekarang. Ibu banyak berubah semenjak—"

"Semenjak Ayah kamu meninggal dan ninggalin banyak utang?"

Mendengar hal itu hati Mentari rasanya sakit sekali. Tak terasa air matanya jatuh begitu saja. Sekuat apa pun Mentari menahannya, pada akhirnya dia akan rapuh juga. Seperti bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak juga jika sudah tidak bisa menahannya lagi.

"Tapi itu semua nggak berarti Ibu harus kayak gini, kan, Bu?" Suara Mentari naik satu oktaf. Dia tidak terima jika ayahnya terus-menerus disalahkan atas apa yang sudah menimpanya selama ini. "Aku tahu Ibu kecewa, tapi nggak berarti Ibu harus jadi perusak rumah tangga orang lain, Bu! Aku bahkan nggak kenal Ibu, sama aja Ibu nggak jauh beda dengan wanita murahan di luaran sana."

Satu tamparan mendarat mulus di pipi kanan Mentari. Rasa sakit di pipi tidak sebanding dengan sakit hati yang Mentari rasakan selama ini. Melihat tatapan ibunya yang tidak tersentuh dan bahkan Mentari merasa asing dalam dekapannya selama ini.

"Kamu tahu Mentari apa yang udah kamu bilang itu keterlaluan? Saya ini Ibu kamu, orang yang melahirkan kamu. Berani kamu bilang kayak gitu?" Air mata Sarah jatuh membasahi pipinya. Menatap anak satu-satunya yang menurutnya sudah kelewatan dengan menyamakannya dengan wanita murahan di luaran sana. "Seberengsek apa pun saya, saya nggak pernah mengajari kamu untuk melawan orang tua, Mentari! Kamu tahu?" Sarah benar-benar marah, emosinya memuncak. "Saya yang rawat Ayah kamu bertahun-tahun lamanya. Keluar-masuk rumah sakit, dirawat, biaya banyak, utang sana-sini, ditagih utang tiap hari sampai harus kena marah penagih utang. Tidur di mana aja asal Ayah kamu bisa nyaman, tetap sehat, bisa sembuh. Tapi apa salah kalau saya mau mencari kebahagiaan saya sendiri sekarang? Dan, harus kamu tahu, Mentari. Sebagian dari biaya sekolah kamu itu berasal dari pacar saya. Dia yang membantu membiayai kehidupan kita berdua!"

"Aku tahu, Bu. Aku tahu, tapi itu semua nggak harus bikin Ibu seperti pelakor yang nggak punya harga diri."

Sekali lagi, tamparan keras mendarat di pipi kanan Mentari hingga memerah. Bekas jari Sarah membekas di pipi Mentari. Mentari melihat wajah Sarah, menatapnya lekat dengan penuh amarah di dada. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Mentari berlari keluar rumah. Tidak peduli dengan hujan yang kini mulai membasahi tubuhnya. Tidak peduli dengan dinginnya yang menusuk hingga ke tulang.

Mentari hanya ingin pergi, tidak peduli dengan apa pun. Mentari ingin menangis sejadi-jadinya. Berteriak sekencang-kencangnya. Berlari sejauh apa yang dia bisa. Mentari hanya ingin pergi untuk saat ini.

Tanpa Mentari sadari, sepasang mata sedari tadi memerhatikannya. Sama halnya dengan Mentari yang bahkan tidak peduli hujan mengguyur tubuhnya hingga basah kuyup. Sepasang mata yang ikut merasakan kesedihan Mentari selama ini. Sepasang mata yang pertanyaannya sudah terjawab detik ini juga. Sepasang mata yang kini mengikuti Mentari pergi.

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang