Rain ☔ 17

1K 72 2
                                    

Aku pernah menyimpan harap pada manusia, tapi harapan itu justru banyak dipatahkan sampai aku lupa cara untuk berharap lagi.

—Pluviophille

***

Mata Mentari tak lepas dari banner raksasa yang dipasang di bangunan tingkat sekolahnya. Burung rajawali yang terlihat gagah dengan memegang logo SMAN 19 Bandung, juga beberapa banner setiap kelas yang memang sepertinya sudah menjadi tradisi di setiap angkatan jika ada acara sekolah. Cukup lama Mentari melihatnya, hingga suara seseorang membuat Mentari tersentak.

"Nyesel ya, nggak terima tawaran saya?"

Sekarang Mentari sudah hapal siapa yang berbicara ketika dia belum sempat melihat wajahnya. Mentari mengenal suara itu—suara yang akhir-akhir ini mengganggu ketenangannya di sekolah. Mentari menatap Pandu dengan tatapan tidak suka.

"Nggak sama sekali."

"Kalau untuk acara sekolah berikutnya, tetap nggak mau kalau kamu yang—"

"Nggak akan mau." Potong Mentari cepat seolah sudah tahu apa yang akan dikatakan Pandu kepadanya. Mentari hanya ingin membatasi hidupnya. Sudah cukup orang-orang datang di saat mereka membutuhkannya, tapi ketika Mentari yang membutuhkan justru mereka tidak pernah ada untuk Mentari. Dan, Mentari hanya malas berhadapan dengan orang seperti Pandu yang dia yakini hanya datang ketika membutuhkannya saja.

"Boleh saya tanya kenapa?"

"Harus ada alasan kalau saya nggak mau?" balas Mentari membuang pandangannya ke arah lain. Padahal Mentari paling tidak suka jika pertanyaannya harus dijawab pertanyaan lagi. Namun, dia sendiri yang memakan omongannya.

"Harus, biar saya pertimbangkan untuk nggak meminta kamu membuat sketsanya." Melihat Pandu dengan almamater OSIS SMAN 19 Bandung tidak membuat Mentari terkesan dengan apa yang dilihatnya saat ini. Mentari juga tidak ingin mengakui karisma dan wibawa Pandu. Tidak penting juga.

Memang, sudah bukan hal baru jika semua anggota OSIS mengenakan almamater kebanggaannya ketika acara sekolah. Namun, melihat Pandu saat ini membuat Mentari justru berpikir bahwa almamater yang Pandu pakai hanya sebatas ciri khas yang belum tentu menunjukkan kinerja sesungguhnya.

"Ikut lomba apa?" tanya Pandu ketika Mentari hanya diam saja duduk di pinggir lapangan sambil mengamati banner dan perlombaan yang sudah dimulai sejak pukul delapan pagi di lapangan. "Emang kamu bisa olahraga? Kelihatannya sih, kamu hanya nyaman berteman dengan sketchbook. Olahraga bukan kamu banget."

Mentari memejamkan matanya menahan kesal. Dia berdiri berhadapan dengan Pandu. Membalas tatapan Pandu yang selalu saja berhasil membuat Mentari kesal.

"Masalahnya dengan kamu itu apa, ya? Mau saya ikut lomba atau nggak, itu bukan urusan kamu. Mau saya lomba sepak takraw sekali pun, itu nggak ada urusannya sama kamu." Mentari berlalu begitu saja dari hadapan Pandu. Namun, baru beberapa melangkah suara Pandu terdengar lagi.

"Berbicara dengan saya bikin kamu lupa ingatan, ya?" Pandu merendahkan tubuhnya untuk mengambil botol minum di dekat pohon. Dia menyodorkannya kepada Mentari. Pandu yakin itu milik Mentari karena tidak ada orang yang duduk di samping Mentari. "Punya kamu 'kan? Ketinggalan,"

Mentari menghela napas gusar, membuang tatapannya dari mata Pandu. Dan, entah kenapa berbicara dengan Pandu selalu membuat Mentari ingin menjawabnya. Orang seperti Pandu akan menjadi-jadi jika tidak dibalas. "Saya heran sama kamu, sebenarnya kamu itu mau apa sih? Kenapa juga kamu harus ada di sini?" Mentari mengambil botol minumnya dari tangan Pandu dengan cepat.

"Oh, saya lagi memantau perlombaan. Dan, kebetulan lihat kamu jadi memantau sekalian."

"Ngapain memantau saya?" Mentari tidak terima dengan perkataan Pandu. Tatapannya benar-benar menunjukkan bahwa dia tidak suka dengan adanya Pandu di hadapannya sekarang.

"Memantau orang yang udah bikin saya pusing berhari-hari, orang yang menolak membantu saya ternyata sedang melihat banner yang seharusnya dibuat sama dia."

Pandu menyindirnya, Mentari tahu betul bahwa ucapan Pandu tertuju padanya. Baiklah, Pandu adalah orang ke sekian yang berhasil membuat Mentari tidak nyaman berbicara dengannya. Pandu selalu bisa menjawab semua perkataan Mentari. Dan, itu tidak membuat Mentari senang.

"Saya minta tolong sama kamu untuk jangan ganggu saya lagi karena kita nggak ada urusan apa-apa."

"Kalau kamu aja nggak membantu saya kemarin, kenapa saya harus membantu kamu?" Usai mengatakan itu Pandu berlalu begitu saja meninggalkan Mentari yang penuh kekesalan. Berbicara dengan Pandu membuat tekanan darah Mentari bisa naik. Mentari juga tidak tahu mengapa mau saja meladeni ucapan-ucapan Pandu.

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang