Aku lelah. Stigma orang lain tak berhenti membuat gundah. Semesta, jangan biarkan aku menyerah.
—Rain
***
Semua yang terjadi pada Mentari di perpustakaan tidak lepas dari pandangan Pandu. Kegiatan mengambil beberapa buku paket matematika membuatnya terhenti. Sedari tadi dia memang tidak sengaja mendengar percakapan yang ada di dalam perpustakaan dan kelas Mentari sedang melakukan kegiatan kerja kelompok.
Pandu dibuat speechless dengan sikap Mentari. Perempuan itu benar-benar sulit ditebak dan Pandu tidak tahu apa yang Mentari inginkan. Pandu jadi tidak yakin bahwa Mentari benar-benar pendiam, jika harus diralat mungkin Pandu meyakini bahwa Mentari tidak suka diatur, tidak suka basa-basi dan tidak suka diganggu.
Mata Pandu melihat Mentari berjalan cepat keluar perpustakaan. Hingga teman satu kelasnya yang juga sedang membantu mengambil buku paket jadi mengikuti arah pandangan Pandu.
"Ada apa sih?" Pandu memilih untuk mengangkat bahu. Dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Yo, kamu kok gitu sih sama Mentari?" Suara seorang lelaki menghampiri meja kelompok Norman dengan kamera yang menggantung di lehernya membuat beberapa orang menjadikannya pusat perhatian. "Dia cewek, Yo. Udahlah, minta maaf sana."
"Bara—"
"Di kamus cewek, mereka itu selalu benar, Yo. Kalau mereka salah, balik lagi ke kalimat pertama."
"Ya ampun, Bara!" Helmi menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia mencolek lengan Bara lalu tersenyum lebar. "Kamu emang paling pengertian deh sama cewek. Kamu—"
"Kamu juga, Hel. Katanya Mentari teman kamu, tapi kok Mentari pergi kamu nggak ngejar dia?"
Buku-buku paket di tangan Pandu refleks terjatuh karena bebannya terlalu berat. Cepat-cepat Pandu mengalihkan pandangannya ketika beberapa orang menoleh ke arahnya karena terdengar suara yang cukup keras.
"Ngelamun apaan sih, Pan?" Pandu menggeleng, dengan cepat dia merapikan buku-buku matematika yang terjatuh dan dibantu oleh temannya.
"Ssst, udah dong jangan berisik ini perpustakaan!" Suara Niar membuat orang-orang yang tadinya sibuk memerhatikan perdebatan itu jadi kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Helmi hanya diam saja ketika Bara mengatakan kalimat itu kepadanya. Helmi menunduk, tidak berani menatap mata milik Bara. Dia memilih untuk kembali duduk di kursinya dan tidak menghiraukan Bara.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Bara berdecak dan keluar dari perpustakaan membuat teman-teman satu kelompoknya memanggil Bara. Namun, pemuda itu hanya berteriak dan mengatakan bahwa dia akan keluar sebentar saja.
Satu hal yang Bara tahu dari Taryo bahwa Mentari memang tidak ingin berteman dengan siapa-siapa. Mengenal Mentari belum lama ini tentu membuat banyak pertanyaan di kepala Bara. Mengapa ada orang tertutup seperti Mentari?
Gubrak.
Bara menabrak buku-buku paket di tangan Pandu hingga membuat perhatian Pak Joko—pustakawan—teralihkan ke pintu perpustakaan.
"Maaf nggak sengaja." Bara mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat.
Pandu menarik seragam yang dikenakan Bara ketika lelaki itu hendak keluar membuat Bara kembali mundur beberapa langkah. "Kalau tahu salah, berani tanggung jawab bisa 'kan?"
"Gue buru-buru."
"Ada apa ribut-ribut?" Pak Joko menghampiri keributan yang ada di pintu.
"Ini, Pak—"
"Nggak ada apa-apa kok, Pak. Saya nggak sengaja nabrak aja. Ini udah saya beresin, Pak." Belum sempat Pandu berbicara, Bara sudah memotong ucapannya lebih dulu. Bara tersenyum lebar dan cepat-cepat merapikan buku-buku paket yang terjatuh untuk disusun lagi.
Pak Joko hanya geleng-geleng dan mengatakan bahwa harus lebih hati-hati karena takut buku-bukunya rusak. Ketika Pak Joko sudah kembali, Bara mendengus menatap Pandu. Dia menunjuk wajah Pandu tepat di mata dengan kedua jari tangannya, lalu menunjuk matanya sendiri.
Pandu mengernyit, tidak habis pikir dengan tingkah lelaki di hadapannya. Belum sempat Bara melangkah lagi, tapi dia dibuat terkejut oleh gerakan Pandu yang menghalanginya.
"Udah tahu 'kan aturan di sekolah nggak boleh pake kalung?" Pandu mengangkat kedua alisnya. "Lepas atau saya tarik paksa?"
"Apa?!" Bara menggeleng tidak terima. "Heh, emangnya lo siapa sih berani larang-larang gue?"
"Satu..."
"Apaan sih? Ini bukan urusan lo."
"Dua..." Pandu menghitung, menghalangi jalan Bara yang hendak keluar.
"Gue udah tanggung jawab, sekarang lo seenaknya—"
"Tiga."
"Aduh!" Kalung hitam dengan bandul jangkar terlepas begitu saja dari leher Bara. Gerakan Pandu begitu cepat menarik paksa kalung yang dipakai oleh Bara. Bara meraba lehernya sendiri yang terasa sakit karena Pandu menariknya tiba-tiba.
"Nama?"
"Woi—"
"Nama lo?"
"Balikin kalung gue!"
"Nama?"
"Bara. Barameru kelas 11-3. Puas?" Bara menatap Pandu sengit. "Balikin kalung—"
"Silakan ambil ke ruang BK setelah jam istirahat."
"Ada apa ribut-ribut lagi?" Suara Pak Joko membuat mereka kompak menoleh. Teman Pandu yang sedari tadi berdiri hanya bisa meringis pelan.
"Nggak ada apa-apa, Pak." Kini giliran Pandu yang menjawab sebelum Pak Joko kembali lagi. Pandu mengambil buku-buku paketnya dan menatap Bara seolah memeringati. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Pandu berlalu begitu saja diikuti temannya membuat Bara mengumpat kesal.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/138481097-288-k69811.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Teen FictionDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...