Rain ☔ 38

139 24 1
                                    

Aku akan memulai semuanya dari awal. Berharap akan ada purnama yang menyambutku dengan penuh suka cita, meski aku tahu semuanya datang bersamaan dengan lara.

—Pluviophille

***

Gradasi warna yang diciptakannya begitu tulus. Dia terlihat tenang dan santai. Begitulah cara Mentari melukis meski sebenarnya dia tidak pernah mengharapkan apa-apa dari perlombaan ini. Namun, seketika Mentari mengingat mendiang Ayahnya. Ayahnya bahkan selalu senang ketika melukis dan melakukannya dengan begitu tulus. Dari Ayah, Mentari belajar banyak hal. Jiwa seni di antara mereka begitu kuat, tidak perlu dipertanyakan bagaimana cerminan Mentari dalam menggambar.

"Waktunya lima belas menit lagi, diharapkan untuk tetap fokus dan tenang." Mentor yang berdiri di dekat meja juri sudah memberikan peringatan waktu. Mentari tidak terganggu dengan hal itu, selesai atau tidak, dia akan memberikan apa yang terbaik menurutnya.

Terlihat Pak Didi dan beberapa guru-guru dari perwakilan sekolah lain ikut menunggu di pinggir aula. Pak Didi sedang mengobrol dengan mereka, sesekali mengawasi murid perwakilan sekolahnya dari jarak beberapa meter.

Tangan Mentari dengan cekatan mencampurkan cat-cat untuk warna baru. Saat hendak memoleskannya pada canvas, Mentari mendadak diam. Mentari memandangi hasil lukisannya yang belum selesai, menjauhkan kuas dari canvas di hadapannya.

"Awal manusia lahir ke bumi itu seperti canvas putih. Belum ada coretan apa pun, belum ada tinta sedikit pun. Lalu, Tuhan membiarkan mereka untuk menggoreskan apa saja di canvasnya dengan beberapa petunjuk penggunaan. Dan, manusia mulai menunjukkan coretan dalam canvasnya seperti apa yang ingin mereka lakukan. Memberi warna pada canvas, belajar memberi banyak warna padahal sebenarnya bingung akan memberi warna apa untuk hidupnya."

Dulu, ketika Ayahnya menjadi pemateri seminar di beberapa kelas melukis, Mentari selalu ikut dan mendengar apa yang dikatakan oleh Ayahnya di depan khalayak. Mentari ingat bahwa Ayahnya pernah membahas perihal canvas dan kehidupan. Sudut bibir Mentari terangkat, semakin terlihat bahwa dia tersenyum memandang lukisannya sendiri.

Di sisi lain, Pandu tengah melemparkan argumen demi argumen kepada tim pro. Mosi debat mengenai "Perkembangan Teknologi Berdampak Buruk Terhadap Kehidupan Sosial Remaja". Pandu terus memberikan bidasan kepada tim lawan dan mempertahankan argumennya. Ingatlah bahwa Pandu selalu bisa menjawab dan membalas perkataan orang lain, maka mudah bagi Pandu memberikan bidasan yang bisa saja mematikan argumen tim lawan. Dibantu dengan dua orang dalam timnya, Pandu menuliskan beberapa argumen beserta fakta yang akan menjadi bidasan selanjutnya. Bergilir, meski Pandu tidak sepenuhnya, tapi sampai di tahap ini Pandu yang sudah memberikan skak kepada lawan.

Lain halnya dengan Barameru. Tangannya memetik senar gitar dengan begitu cekatan. Meski sebenarnya dia merasa insecure dengan peserta lain yang lebih bagus penampilannya, tapi Bara berusaha menyelesaikan lagu hingga akhir dengan baik. Ada tiga lagu yang harus Bara nyanyikan. Lagu pertama sudah selesai dinyanyikan, yaitu lagu wajib kebangsaan Republik Indonesia dengan judul "Indonesia Raya", lagu kedua adalah lagu daerah "Manuk Dadali", dan yang terakhir dibawakannya adalah lagu milik Nadine Hamzah dengan judul "Bertaut".

Harapan itu selalu ada, sekecil apa pun, selalu ada di lubuk hati yang paling dalam. Berharap bahwa setelah ini masing-masing dari mereka memberikan hasil terbaik, mengharumkan nama sekolah, menjadi kebanggaan keluarga dan orang-orang sekitar. Meski rasanya tantangan itu tak juga selesai, tak juga berhenti pada satu titik karena setelahnya akan ada tantangan-tantangan yang baru, yang lebih mengerikan. Namun, Tuhan tidak pernah membiarkan hamba-Nya berjalan sendiri. Tuhan selalu menuntun hamba-Nya yang mau berusaha dan berdoa hanya kepada-Nya. Karena Yang Maha Baik selalu tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang