Rain ☔ 35

115 23 2
                                    

Aku sudah pernah mengatakan berulang kali bahwa jangan sesekali mengusik duniaku atau aku yang perlahan akan menghancurkan duniamu.

—Rain

***

Sejak jam istirahat dan perbincangan yang Mentari dengar di kantin, Mentari jadi memerhatikan Helmi yang diam saja. Biasanya perempuan itu akan mengeluh dengan pelajaran Matematika yang tidak disukainya atau ingin segera bel pulang sekolah, atau apa saja yang meresahkan dirinya sendiri. Namun, baru kali ini Helmi lebih banyak diam dan menggelosorkan tubuhnya di atas meja. Mentari hanya memerhatikan, tidak berniat untuk bertanya setelah apa yang didengarnya di kantin.

Mentari sudah pernah mengatakan bahwa dia nyaman sendiri. Mentari lelah dan muak dengan perlakuan orang-orang yang egois, selalu meminta pengakuan baik dari orang lain, dan datang ketika membutuhkan, lalu pergi ketika sudah senang hingga lupa dengan orang yang pernah bersangkutan. Inilah alasan Mentari selalu menutup dirinya sendiri. Dia malas berurusan dengan mereka yang Mentari tahu bahwa suatu saat mereka akan pergi juga. Cepat atau lambat, pasti.

Hingga bel pulang sekolah berdering, Helmi tetap tidak bicara apa-apa. Mentari yakin pasti ini ada hubungannya dengan pengakuan Bara. Sudah bisa Mentari duga bahwa Helmi akan patah hati dan marah kepadanya padahal Mentari tidak tahu apa-apa perihal Barameru. Ingin mengenal dan mengetahui lebih jauh saja Mentari tidak ingin, apalagi sampai memiliki hatinya.

"Tar, datang, ya!" Bara tiba-tiba saja sudah ada di hadapan meja Mentari dan Helmi. Mentari melirik Helmi yang masih merapikan alat tulisnya ke dalam tas, seolah-olah tidak terganggu sama sekali dengan perkataan Bara barusan.

"Saya nggak bisa."

"Sebentar aja kok, kamu bareng sama Helmi, gih!"

Mentari menggeleng, dia melihat Helmi berlalu begitu saja melewati Bara yang memanggilnya. Jika biasanya panggilan dari Bara selalu membuat Helmi melayang dan ingin mendengarnya lagi, tapi tidak untuk saat ini. Bahkan Helmi sama sekali tidak menoleh dan langsung keluar kelas begitu saja. Helmi dengan gaya ceriwisnya hilang seketika karena alasan yang tidak seharusnya.

"Helmi!" panggil Bara untuk yang ke sekian dan tak mendapat respons. Bara mengalihkan pandangannya menatap Mentari. "Helmi kenapa sih? Mulas kali, ya? Buru-buru banget."

Mentari memakai ransel ke punggungnya. Mengeratkan pegangan pada tali ransel untuk menghadap Bara. "Saya nggak suka basa-basi." Mentari menarik napas, tidak memedulikan keadaan sekitar yang sibuk untuk pulang. "Saya nggak suka cara kamu mengusik kehidupan saya. Jadi, tolong berhenti mengganggu saya, Bara."

Usai mengatakan itu, Mentari berlalu melewati Bara yang kebingungan. Dahi Bara berkerut, dia melihat Mentari sudah keluar dari kelas. Bara benar-benar tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Mentari barusan. Mengapa tiba-tiba Mentari mengatakan hal seperti itu?

"Lah, si Helmi katanya mau ikut? Kok pulang duluan?" Taryo menepuk pundak Bara. Taryo juga heran mengapa Helmi langsung pergi begitu saja, padahal dia yang semangat ingin datang ke kedai kopi tempat Bara bekerja.

"Nggak tahu," Bara mengangkat bahu. "Lagu ciptaanku spesial, Yo. Tadinya pengen dilihat Mentari pas nyanyi, eh dia nggak mau ikut."

"Jelaslah dia nggak mau. Modelan perempuan kayak Mentari itu senangnya di rumah, main sama sketchbook, kuas, pensil gambar, dan sekawanannya. Mana mau—"

"Yo, kamu kenapa sih, sensi banget kalau bahas Mentari?" potong Bara mengerutkan dahinya. Kini mereka sudah keluar kelas dan berjalan menuju parkiran. Dari yang Bara dengar dari mulut Taryo mengenai Mentari, laki-laki itu seperti tidak menyukai Mentari.

"Bar," Taryo menepuk bahu Bara dua kali. "Perempuan kayak Mentari itu nggak bisa menghargai orang lain. Mukanya nggak pernah ada senyum-senyumnya. Maunya enak sendiri, nggak mikirin perasaan orang lain. Dia pikir, dia bisa hidup sendirian? Nggak, kan, Bar?"

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang