Rain ☔ 19

888 56 1
                                    

Seharusnya sejak awal ini akan jadi perkara yang mudah, tapi justru kamu yang membuatnya rumit.

—Rain

***

"Bapak panggil saya?" Mentari sudah sampai di meja Pak Didi. Ada beberapa murid yang berdiri di meja guru senior itu entah sedang ada urusan apa. Sebenarnya Mentari juga tidak tahu mengapa Pak Didi memanggilnya, padahal Mentari tidak diajar oleh beliau. Mentari juga yakin Pak Didi tidak akan mengenali wajahnya. Sebenarnya Mentari sedang malas, apalagi ketika dia membuka pintu, Mentari mendapati Pandu yang baru saja keluar dari ruang guru. Tatapan mereka bertemu dan Pandu hanya mengangkat alis ketika Mentari menatapnya.

Melihat Pak Didi memicingkan mata seraya membenarkan letak kacamatanya membuat Mentari tersadar bahwa yang dia yakini benar—Pak Didi pasti tidak mengenalinya. Lalu, mengapa Pak Didi harus memanggil Mentari?

"Saya Mentari, Pak. Katanya Bapak panggil saya. Ada apa, Pak?"

"Oh, Mentari?" tanya Pak Didi memastikan membuat beberapa murid yang berdiri di samping Mentari jadi ikut menoleh. Tipikal murid pendiam seperti Mentari pasti akan sulit dikenali oleh guru. Ditambah lagi, Pak Didi juga tidak mengajar materi di kelas Mentari. Jelas tidak akan tahu. "Nah, sudah kumpul semua, ya."

Mentari mengerutkan kening, dia menunggu Pak Didi selesai berbicara. "Berhubung kalian semua sudah ada di sini, Bapak mau tanya apa benar kalian suka menggambar dan melukis?"

Kerutan di dahi Mentari semakin terlihat jelas. Darimana Pak Didi tahu jika Mentari suka menggambar. Beberapa murid di sebelah Mentari mengangguk, tapi hanya dia saja yang diam membuat Pak Didi menoleh menunggu jawaban Mentari.

"Kalau kamu?" Mentari mengangguk dengan ragu. "Bapak sudah dapat informasi mengenai kalian yang memang suka dunia gambar. Bapak senang karena jarang sekali, ya, anak-anak milenial sekarang bisa unjuk bakatnya masing-masing."

Mentari benar-benar tidak tahu arah pembicaraan Pak Didi. Terlebih lagi melihat tiga orang di samping Mentari yang ternyata juga suka dunia gambar. Mentari tidak kenal dengan mereka, tidak tahu namanya meski beberapa wajahnya cukup familiar.

"Jadi, Bapak kumpulkan kalian semua untuk mengajak kalian lomba seni menggambar. Lombanya bulan depan, tapi Bapak harus sudah punya kandidat siapa saja yang nanti akan Bapak daftarkan untuk ikut lomba melukis."

Ah, pantas saja Mentari baru ingat jika Pak Didi adalah salah satu guru seni di sekolahnya. Hanya saja Pak Didi tidak mengajar di kelas Mentari. "Nah, kalian bertiga diajar sama Bapak." ujar Pak Didi kepada tiga murid di sebelah Mentari. Dua laki-laki, satu perempuan. "Kalau kamu ... mentari, ya? Mentari 'kan nggak diajar sama Bapak, ya? Tapi sama Bu Keke, dan kebetulan minggu kemarin Bu Keke sudah ambil cuti karena akan melahirkan. Jadi, mulai minggu ini kelas kamu juga akan diajar sama Bapak."

Mentari hanya bisa mengangguk, meski sebenarnya banyak pertanyaan di kepalanya. Dia bingung mengapa Pak Didi bisa tahu nama Mentari padahal beliau saja tidak mengenalnya.

"Nanti Bapak akan infokan lebih lanjut lagi. Tapi, kalian mau, ya, jadi kandidat untuk lomba mewakili sekolah bulan depan?"

"Saya mau, Pak."

"Saya juga, Pak.

Mereka sudah setuju, lalu Pak Didi kembali melihat ke arah Mentari yang hanya diam saja. "Kamu mau 'kan?"

"Saya ... saya nggak bisa, Pak. Saya bisa menggambar, tapi masih belajar sedikit-sedikit." Mentari memaksakan senyumnya. Bagaimanapun juga, dia harus bisa menghormati Pak Didi sebagai guru di sekolahnya.

"Lho, justru itu kamu bisa cari pengalaman untuk belajar lagi. Ini juga 'kan baru seleksi, kamu ikut ya biar nanti Bapak pilih kandidat yang fix kalau sudah seleksi."

"Tapi, Pak—"

"Sudah, dicoba dulu saja. Ini kesempatan, kalau bisa menang hadiahnya juga sertifikat dan medali. Kalau bisa lanjut ke tahap berikutnya lebih bagus, apalagi kalau sampai nasional bahkan internasional. Waduh, bisa sampai kuliah di luar negeri, lho!"

Mentari menggaruk pelipisnya, tersenyum canggung karena tidak tahu harus bersikap seperti apa. Mentari memilih untuk diam saja ketika Pak Didi meneruskan pembicaraannya.

"Nanti Bapak kasih info untuk seleksinya, ya. Kalian harus ikut karena sudah Bapak pilih. Mungkin itu aja ya, sekarang kalian boleh ke kelas masing-masing."

Bukannya kembali ke kelas, Mentari masih berdiri di meja Pak Didi ketika murid yang lain sudah keluar. "Pak, maaf saya mau tanya, kenapa Bapak pilih saya juga, ya?"

"Bapak direkomendasikan sama Pandu, ketua OSIS, kamu pasti tahu dia 'kan? Nah, Bapak meminta Pandu untuk merekomendasikannya dan ada nama kamu."

Jadi, ini semua Pandu yang mempromosikannya? Mentari sungguh tidak habis pikir, bisa-bisanya Pandu terlalu jauh mengusik ketenangan Mentari. Mau apalagi dia? Belum cukupkah membuat ketenangan Mentari akhir-akhir ini jadi kacau?

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang