Kamu selalu saja asing dalam duniaku. Kamu tak pernah benar-benar percaya dengan dunia orang-orang yang berusaha dekat denganmu. Kalau sudah begitu, jangan salahkan jika aku terus memaksa untuk jadi yang pertama memecahkan benteng hatimu.
—Rain
***
Mungkin Mentari tidak bisa membaca pikiran seseorang, Mentari juga tidak bisa membaca masa depan. Mentari tidak bisa membaca hati seseorang melalui tatapannya. Mentari hanya seorang perempuan yang bisa menggambar, tidak lebih. Namun, di hadapannya saat ini Mentari bisa membaca apa yang akan terjadi selanjutnya jika dia tidak menghentikan perdebatan antara Bara dan Pandu.
Mentari meyakini bahwa sebentar lagi Pak Joko—pustakawan—akan menghampiri perdebatan yang masih memanas. Keduanya sama-sama tidak ingin kalah, mereka ingin memenangkan argumen masing-masing dan sebisa mungkin memertahankannya.
"Nggak usah ribut bisa 'kan? Dilarang berisik, itu aturan di perpustakaan." Mentari menarik lengan seragam Bara hingga lelaki itu mundur beberapa langkah. Hal itu tidak luput dari pandangan Pandu. "Dan, kamu," Mentari menunjuk wajah Pandu. "Ketua OSIS ternyata bisa melanggar juga. Sederhana, aturan perpustakaan dilanggar, tapi dampaknya ke semua yang ada di dalam perpustakaan."
"Tolong bedakan melanggar peraturan dengan menegur orang yang melanggar peraturan." balas Pandu dengan tatapan yang begitu tegas seolah dia tidak ingin dibantah.
Belum sempat Mentari menjawab, tapi Bara maju dan menarik Mentari untuk mundur hingga saat ini posisinya berhadapan dengan Pandu. "Oh, atau Kakak Ketua OSIS yang terhormat ini lagi latihan debat untuk lomba nanti, ya?"
"Ada apa ini?" Pak Joko dengan peci di kepalanya tergopoh-gopoh menghampiri keributan. Pak Joko yang tengah memegang pulpen jadi geleng-geleng kepala ketika melihat pelaku keributan pagi ini. "Masih pagi, ada apa berisik?"
Ketiganya kompak diam, tidak menjawab perkataan Pak Joko yang geleng-geleng kepala, bahkan letak pecinya menjadi miring. "Sudah-sudah, jangan ribut lagi, Bapak lagi sibuk. Lebih baik kalian bantu Bapak cepat. Masih banyak buku-buku yang harus dirapikan." Pak Joko menyuruh ketiga murid itu untuk mengikutinya, tapi dia menoleh lagi ketika menyadari salah satu murid yang begitu dikenalinya. "Pandu?" Pak Joko membenarkan letak kacamatanya. "Ah, kamu ini saja ... tolong ambilkan data-data buku paket kurikulum terbaru ke Bu Astri, ya."
Sudah bukan hal baru dan tidak perlu dipertanyakan mengapa banyak guru-guru hingga warga sekolah mengenal Pandu. Sejak kelas sepuluh, Pandu dikenal dengan murid berprestasi yang selalu menjadi perwakilan sekolahhnya. Dikenal sebagai siswa aktif tentu bukan hal yang sulit bagi Pandu menciptakan relasi dalam kehidupan di sekolahnya.
"Emangnya rapat udah selesai, Pak?"
Mendengar kata rapat, Bara mengerutkan keningnya. Pantas saja Pandu bisa berkeliaran dengan mudah di mana-mana, ternyata guru-guru sedang rapat dan bisa dipastikan sekarang sedang jam kosong di kelas-kelas.
"Belum, tapi Bu Astri lagi mendata buku-buku yang baru datang. Bapak dan Bu Astri tidak ikut rapat karena harus mengurusnya. Tolong, ya, cepat ambilkan."
"Baik, Pak."
Pak Joko berlalu diikuti Mentari di belakangnya yang hanya bisa menghela napas pasrah. Senin ini benar-benar menyebalkan bagi Mentari. Sudah dijemur di lapangan, dihukum merapikan buku-buku perpustakaan, dan belum selesai hukumannya harus ditambah lagi dengan perintah Pak Joko.
Belum satu langkah, seragam Pandu ditarik ke belakang hingga dia mundur. Bara mendekatkan tubuhnya untuk berbisik di telinga Pandu. Menggerakan tangannya ke leher seolah dirinya baru saja berhasil mengancam seorang Ketua OSIS.
"Jangan mentang-mentang Ketua OSIS bisa seenaknya. Urusan kita belum selesai Kakak terhormat." Bara menggerakan jari telunjuk dan tengahnya ke mata, lalu ke mata Pandu. Dengan gaya super tengil, Bara melewati Pandu begitu saja yang hanya bisa menghela napas.
Meski satu angkatan, Bara memanggil Pandu dengan embel-embel Kakak. Pandu tahu itu bukan sebuah hormat, melainkan ejekan untuknya. Namun, Pandu tidak peduli. Dia sudah biasa diperlakukan oleh kebanyakan murid yang diam-diam membicarakan di belakangnya. Inilah risiko yang harus dia dapatkan dan diterima seorang Pandu Elangga Gerhana yang memilih untuk menerima jabatannya sebagai Ketua OSIS SMAN 19 Bandung.
Bagi Pandu, hidup selalu memiliki risiko jika manusia memilih untuk bergerak. Jika tidak ingin menghadapi risiko, lebih baik diam di tempat yang justru tidak akan memberi perubahan. Hidup selalu memiliki pilihan. Bertahan atau melepas, bergerak atau diam di tempat, maju atau mundur.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Teen FictionDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...