Rain ☔ 48

97 18 24
                                    

Benteng pertahananku mulai runtuh seketika. Sekeras apa pun aku mempertahankannya, tapi ada rasa yang begitu hebat mengalahkanku.

—Rain

***

"Saya ketemu Pak Angga sewaktu lomba kemarin. Nggak nyangka, ternyata beliau Ayah kamu."

Pandu bersandar pada tiang kayu di belakangnya. Tersenyum kecil menanggapi perkataan Mentari barusan. "Untung kamu mau ikut lomba, coba kalau nggak. Mungkin nggak ketemu Ayah saya saat itu, dan kita nggak akan ngobrol kayak sekarang."

Tangan Mentari merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan mengeluarkan almamater OSIS milik Pandu yang kemarin sempat Mentari pinjam. Menyerahkannya kepada Pandu membuat lelaki itu langsung menerimanya.

Keduanya terdiam beberapa saat, hingga rintikan air mulai terdengar dan mereka menyaksikan secara langsung di gazebo belakang rumah Pandu. Mereka duduk di sana, berbicara mengenai alasan Mentari bisa berada di rumahnya saat ini.

"Tar, masuk aja, yuk! Hujan."

Mentari menggeleng, perkataannya membuat Pandu berhasil kembali duduk di tempatnya semula. "Saya suka hujan. Sangat suka. Saya mau di sini sebentar aja."

Pandu memerhatikan Mentari, tangan perempuan itu dia ulurkan hingga mengenai rintikan air hujan membasahi tangannya. Pandu duduk bersila, memeluk almamaternya sembari memerhatikan Mentari, lalu tertawa.

Mentari menoleh ketika mendengar tawa Pandu. "Kamu itu aneh, ya, Mentari. Sukanya sendirian, suka menggambar, suka hujan, nggak suka dekat-dekat banyak orang. Kenapa, takut?"

Rintikan air hujan semakin besar, tapi tidak begitu deras. Aroma petrikor mulai memenuhi indra penciuman. Mentari tidak menghiraukan pertanyaan Pandu barusan, dia menarik napas sambil memejamkan matanya.

"Karena hujan itu menenangkan."

"Apa masih bisa disebut menenangkan kalau sudah ada petir dan kilat?" tanya Pandu mengangkat kedua alisnya menatap Mentari.

"Pandu! Mentari! Ayo masuk, hujan!" teriak Bu Miranda dari pintu belakang melihat ke gazebo di mana Pandu dan Mentari berada.

Pandu balas berteriak agar suaranya terdengar dan tidak terkalahkan oleh suara hujan. "Iya, Bun. Nanti aja, lagi ngobrol dulu. Penting!"

Mentari jadi menoleh dan mengerutkan dahinya heran. "Penting? Mau ngomong apa sampai penting gitu?"

"Nggak ada apa-apa, cuman ngobrol. Dan, itu penting, kan? Karena jarang juga kita ngobrol baik-baik." balas Pandu mengangkat kedua bahunya membuat Mentari geleng-geleng kepala tidak mengerti.

Sejak kejadian Pandu menolong Mentari sewaktu diganggu oleh preman-preman, Mentari merasa bersalah karena dulu pernah membuat Pandu mengemis hanya untuk meminta bantuannya. Berkali-kali meminta tolong kepada Mentari, tapi tidak kunjung Mentari menurutinya. Ditambah lagi, ketika Pandu yang merekomendasikan namanya kepada Pak Didi untuk mengikuti lomba, menjadi juara pertama, lalu bertemu sahabat lama almarhum ayahnya.

Entah seperti apa ceritanya, Mentari tidak tahu lagi harus bagaimana. Garis semesta yang tak bisa Mentari hindari, tapi harus Mentari jalani sekarang. Bagaimanapun, Mentari berpikir bahwa dia sudah salah banyak menilai Pandu. Setelah banyak berbicara dengannya, Mentari bisa melihat sisi lain dari seorang Pandu Elangga Gerhana. Seseorang yang dulu Mentari kira adalah Ketua OSIS otoriter, selalu mementingkan diri sendiri, selalu ingin dikenal banyak orang, ingin dipuji guru-guru. Namun, saat ini, detik ini, di hadapan Mentari, dia melihat sisi lain dari Pandu yang hangat dan setidaknya tidak semenyebalkan ketika pertama kali mereka berbicara.

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang