Rain ☔ 23

795 65 1
                                    

Aku ingin berdiri pada titik yang seharusnya. Tidak lebih dan tidak kurang.

—Rain

***

"Tari, kamu marah, ya?"

"Tari, jangan marah. Taryo 'kan emang kayak gitu. Aku juga benci banget sama dia, jangan dengerin apa kata Taryo."

"Tari,"

"Mentari?"

"Ngomong dong, Tar!"

Helmi mengguncang bahu Mentari yang sedang menggelosor di atas meja. Mentari tidak menggubris, dia tetap berada pada posisinya. Setelah kembali dari perpustakaan, Helmi ingin tahu keadaan Mentari. Dia merasa bersalah karena tidak mengejar dan menahan Mentari untuk tidak pergi. Namun, selama ini Helmi tidak tahu apakah Mentari menganggapnya teman atau hanya orang asing yang mengganggu Mentari saja.

"Tari, aku minta maaf, ya. Kamu jangan marah dong, kita 'kan ... kita 'kan ... " Helmi menggantungkan kalimatnya, menatap Mentari yang masih dalam posisi kepala telungkup di atas meja. "... teman."

"Helmi, kamu ngomong sama siapa?" Niar yang baru saja datang dan duduk di meja depan Helmi mengerutkan kening. Menyadari sesuatu, Niar geleng-geleng kepala. Dia menatap Helmi, menghela napas pelan setelah memasukan buku ke tas. "Salut sama kamu, ya, Hel. Bisa tahan dikacangin setiap hari."

"Dikacangin kenapa?"

"Nggak nyadar atau emang kamu bodoh sih, Hel? Mentari emangnya mau, ya, temenan sama kamu? Tahu sendiri dia orangnya kayak apa, sampai teman yang lain aja males buat ngajak dia."

Mata Helmi menatap Mentari yang masih dalam posisinya. Mentari sedari tadi hanya diam, tidak melakukan pergerakan apa-apa.

"Halo, Niar!"

Suara seseorang yang begitu Helmi kenali dan kagumi tiba-tiba saja sudah terdengar dan ada di hadapannya. Bara. Barameru yang membuat jantung Helmi berdetak lebih cepat dari biasanya. Bara melambaikan tangan, tersenyum manis menatap Niar di sebelahnya.

"Eh, Bara."

"Lagi menghasut Helmi biar nggak suka sama Mentari, ya?"

Mendengar suara-suara di sekitarnya terdengar ramai, Mentari mendongak membuka matanya. Sorot cahaya yang jatuh tepat di retinanya membuat pupil matanya terbuka semakin lebar. Mentari menguap, menatap teman-temannya bergantian.

"Kamu dari tadi tidur, ya, Tari?" tanya Helmi cepat.

Mentari mengangguk pelan, teman-teman yang ada di hadapannya justru saling pandang. Mereka tidak tahu kalau sedari tadi Mentari tertidur di dalam kelas. Mentari tidak mengatakan apa-apa, dia memilih untuk keluar kelas dan ke toilet daripada mendengar pertanyaan-pertanyaan teman-temannya mengenai kejadian beberapa saat lalu di perpustakaan.

Mentari tidak mendengarkan teriakan Helmi, dia memilih masuk ke toilet dan membasuh wajahnya agar terlihat lebih segar. Tidak lama Mentari di kamar mandi, dia memutuskan untuk ke kantin Pak Kadir karena memang bel baru saja berdering. Cukup dengan membeli beberapa camilan saja sudah membuat Mentari setidaknya tenang.

Beberapa camilan sudah ada ditangan dengan kantung plastik putih. Namun, ketika dia hendak keluar kantin, Mentari mendapati Pandu berjalan bersama teman-temannya. Mentari melihat sekilas, dia melewatinya begitu saja.

Murid-murid sudah seperti kacang yang tumpah ruah dari karungnya. Jam istirahat memang selalu menjadikan kantin sebagai satu-satunya tempat menyenangkan. Namun, bagi Mentari biasa saja. Semuanya terlampau biasa saja dan tidak ada yang menarik perhatiannya.

Mentari terkejut ketika tangannya ditarik oleh seseorang di koridor. Mendapati Pandu membuatnya menghela napas gusar. Dia benar-benar malas bertemu dengan orang seperti Pandu. Mentari juga sudah malas untuk membahas mengapa Pandu merekomendasikan dirinya ke Pak Didi untuk mengikuti lomba. Mentari yakin bahwa jawaban Pandu akan menyebalkan.

"Pulang sekolah jangan kabur."

"Kabur?"

Pandu mengangguk. "Pak Didi titip pesan untuk mengingatkan seleksi perlombaan sepulang sekolah. Saya harap kamu nggak kabur."

"Harus banget saya nurut sama kamu?"

"Harus. Kalau kamu kabur—"

"Kenapa? Berani mengancam lalu kamu akan menggunakan nama besar kamu sebagai ketua OSIS dan mengancam saya untuk nurut?" Mentari tersenyum miring. "Nggak—"

"Pak Didi yang turun tangan."

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang