Rain ☔ 27

503 49 1
                                    

Aku ingin mengenal semestamu. Aku ingin dekat dengan semestamu. Itu pun, jika kamu memberikan ruang untukku.

—Rain

***

Hari Senin selalu menjadi hari terberat Mentari. Hari-hari produktif untuk memulai kegiatan yang dilakukan setiap harinya. Mentari merasa bahwa jarak hari Senin dengan hari Minggu begitu jauh. Sekolah tidak begitu menyenangkan bagi Mentari, tapi setidaknya lebih baik daripada harus di rumah. Hanya saja Mentari ingin melepas segala penat di kepala dan beban di pundak. Mentari butuh untuk memberikan waktu pada dirinya sendiri.

Pagi ini Mentari datang terlambat, semua siswa sudah berbaris di lapangan untuk upacara. Jadi, Mentari terpaksa dipisahkan di barisan siswa yang melanggar peraturan. Mentari hanya bisa pasrah ketika digiring oleh salah satu anggota OSIS karena terlambat.

Seperti Senin biasanya, siswa yang melanggar selalu aja ada. Entah karena terlambat, tidak mengenakan atribut lengkap atau melanggar tata tertib sekolah lainnya. Mentari juga manusia yang tidak sempurna, tidak luput dari salah yang juga bisa melakukan kesalahan dan melanggar aturan. Sekali-kali Mentari juga masuk dan bergabung dalam barisan siswa melanggar aturan. Lalu, berakhir di lapangan atau toilet sekolah untuk dibersihkan sebagai hukuman. Sebenarnya Mentari tidak begitu mempersalahkan, tapi jika harus membersihkan toilet selalu membuat kepala Mentari pusing karena sudah bukan menjadi misteri jika toilet selalu bau—apalagi toilet sekolah.

"Kenapa nggak pake dasi?"

"Masukin seragamnya yang rapi. Pake dasi, sabuk—ini lagi kaus kaki warna-warni. Hijau, kuning, merah... mau sekolah atau mau konser kamu?"

"Bel sekolah itu jam tujuh pagi. Pas, nggak lebih. Kamu pikir sekolah ini punya nenek moyang kamu bisa berangkat seenaknya?"

"Lepas! Saya bilang lepas atau saya bawa kamu ke tengah lapangan?!"

Dan, berbagai komentar-komentar dari OSIS memenuhi telinga Mentari. Beberapa anggota OSIS mulai berpatroli di setiap barisan, beberapa juga mengomentari barisan siswa yang melanggar aturan. Bukan hal baru lagi jika anggota OSIS tidak begitu disukai kebanyakan siswa karena memang tugas merekalah yang menjadi bumerang sendiri.

"Lho, yang penting 'kan saya sekolah. Lagi pula cuma telat nggak nyampe sepuluh menit masa udah dihukum-hukum aja. Nggak asyik banget sih!" Suara di belakang Mentari membuatnya menoleh mendapati Bara tengah digiring masuk ke barisan oleh Pandu.

Mentari yang berada di barisan paling belakang karena baru saja datang jadi harus bersebelahan dengan Bara yang rupanya juga terlambat.

"Eh, Mentari." Bara tersenyum lebar, merapikan rambutnya yang setengah acak-acakan. Muka bantalnya begitu terlihat menandakan bahwa Bara baru saja bangun tidur. "Iya, iya, saya juga baris. Tenang aja saya nggak bakal kabur kok." Bara mendengus menatap Pandu tidak suka.

"Saya 'kan udah bilang kalau di sekolah nggak boleh pakai kalung. Bisa dilepas?" Pandu balas menatap Bara yang pandangannya beralih pada kalung di lehernya. Sial, baru saja kemarin dirazia, masa harus dirazia lagi? Dengan ogah-ogahan Bara melepas kalungnya dan memasukan ke saku. "Mana kalungnya?"

"Lho, mau ngapain? Mau dipake juga? Enak aja, yang penting udah dilepas. Santai aja kali, Kak. Ini tuh mahal, kemarin aja kalung saya nggak dibalikin."

Mentari hanya menyaksikan perdebatan itu di sebelahnya. Beberapa orang yang baris di depan ikut menoleh karena suara Bara dan Pandu.

"Sekali lagi saya lihat kamu pakai kalung, nggak akan saya buat kamu aman." Usai mengatakan itu Pandu berlalu dan matanya bertemu dengan iris mata hitam legam Mentari. Bara justru menggerutu dan mengumpat kesal dengan Pandu. Apalagi ketika melihat Pandu menghampiri Mentari.

"Eh, Kak. Yang ini jangan dimarahin." Cepat-cepat Bara mencegah Pandu yang hendak membuka suaranya. Pandu tidak menggubris ucapan Bara, menganggap suara Bara hanyalah angin lalu.

"Kenapa?" tanya Pandu. Suaranya terdengar santai, tapi tegas. Karisma seorang Pandu semakin bertambah berkali-kali lipat jika mendengar suaranya. Tatapan tajam Pandu menusuk mata Mentari. Matanya tegas, gestur tubuhnya benar-benar memperlihatkan bahwa Pandu memang seorang pemimpin.

"Terlambat." balas Mentari singkat, jelas dan padat.

"Kamu tahu 'kan jam masuk sekolah? Atau jam di rumah kamu rusak jadi terlambat?" tanya Pandu lagi membuat Mentari menghela napasnya.

"Eh, eh, apaan nih? Bisa aja 'kan terlambat karena sesuatu hal genting dan penting. Mentang-mentang datang pagi—"

"Saya nggak bicara sama kamu." potong Pandu cepat membuat Bara menggerutu lagi. Jika saja tidak sadar di depan umum, mungkin Bara akan terus membalas habis ucapan Pandu. "Punya jam 'kan?" Pandu beralih lagi melihat Mentari yang masih diam saja.

"Saya terlambat dengan alasan apa pun itu bukan urusan kamu. Lagi pula sekali pun saya jelaskan apa alasannya, hukuman tetap berlaku 'kan?" balas Mentari menghabisi ucapan Pandu. Dan, untuk pertama kalinya ucapan Pandu dipatahkan oleh seorang Mentari dan dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya lagi. Terlebih ketika melihat sorot mata Mentari yang Pandu yakini bahwa perempuan itu sedang tidak baik-baik saja.

Sedangkan Bara justru bertepuk tangan seolah kagum dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Mentari. Dia berbisik kepada Mentari sembari terkekeh.

"Nah, gitu dong ngomong."

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang