Probabilitas kita untuk bertemu lagi ada. Meski kecil, tapi aku bertaruh bahwa akan selalu ada probabilitas di antara kita.
—Rain
***
Mading sekolah mendadak ramai dan dipenuhi dengan ujaran pujian. Mentari sudah melihatnya karena tadi Helmi langsung menariknya begitu saja masuk ke kerumunan yang hendak dilewati. Rata-rata dipenuhi oleh siswi juga rekan-rekan OSIS yang berkumpul di mading. Tentu saja ramai karena jurnalis di sekolah memasang foto Pandu bersama orang-orang luar negeri di Berlin dengan artikel bertajuk Student Exchange SHS 19 Bandung. Bukan tanpa alasan jurnalis sekolah membuat mading itu, tentu saja berdasarkan rekomendasi dari sekolah karena siswa emasnya sedang menjalankan student exchange dan sudah berlangsung selama satu bulan di Berlin.
"Keren, ya, Tar? Sumpah deh, sampai sekarang aku nggak nyangka aja kalau sekolah kita ternyata bisa ada program student exchange gitu. Setau aku ya, Tar, dulu waktu Kakak aku sekolah di sini, belum ada tuh acara pelajar ke luar negeri segala kayak Pandu. Gimana, ya, reaksi orang tua Pandu waktu tahu anaknya yang terpilih?"
Mentari memilih untuk diam hingga sampai di kelas. Namun, topik mengenai Pandu belum juga usai ketika Mentari sudah duduk di kursinya. Teman-teman kelasnya sudah berkumpul melihat ponsel dan foto-foto Pandu di Berlin yang dibroadcast oleh pihak OSIS. Ternyata sudah satu bulan Pandu meninggalkan sekolah, tapi tidak membuat namanya terlupakan begitu saja. Magis, Pandu selalu jadi topik pujian teman-temannya.
Sebenarnya minggu lalu Mentari mampir ke rumah Pandu. Bukan tanpa alasan Mentari datang begitu saja, melainkan dia tidak sengaja bertemu dengan Bu Miranda di tempat jual es kepal langganan Pandu—yang saat itu Pandu mengajak Mentari dengan alasan ingin memberikan traktiran. Dan, Bu Miranda lah yang mengajak Mentari untuk ikut ke rumahnya, terlebih ketika Ara dan Ira juga mengajak Mentari untuk menggambar bersama. Mentari tidak enak untuk menolak, apalagi melihat Ara dan Ira yang begitu antusias ketika bertemu dengannya.
Lalu, Mentari juga tahu respons yang didapatkan oleh kedua orang tua Pandu. Pak Angga dan Bu Miranda bercerita banyak soal Pandu yang ternyata diam-diam mengajukan diri dan sekolahnya ke sebuah lembaga yang menyelenggarakan program student exchange setiap tahun. Lagi pula, SMAN 19 Bandung bukan berisi siswa-siswi yang selalu nomor satu di bidang akademik—meski memang SMAN 19 Bandung kerap kali menjadi sorotan. Namun, ternyata di luar dugaannya, bahkan di luar dugaan Pak Angga dan juga Bu Miranda, diam-diam Pandu membuat mimpinya untuk merasakan program pertukaran pelajar ke luar negeri.
"Saya sempat nggak nyangka. Kok bisa? Waktu saya tanya, katanya memang probabilitas yang akan didapatkannya sangat kecil. Pandu juga nggak tahu, tiba-tiba aja dapat surel dari lembaga yang menyelenggarakannya, tentu dengan persetujuan sekolah karena Pandu nggak mungkin melakukannya sendirian. Pandu orangnya ambisius kalau sudah berurusan dengan mimpinya. Saya dan istri, nggak bisa larang mimpi Pandu begitu aja. Saya tahu, Pandu punya banyak mimpi yang kalau di pikir secara nalar, akan sangat kecil probabilitasnya. Tapi, sekali lagi Pandu itu ambisius, Mentari."
Begitulah perkataan Pak Angga ketika menceritakan Pandu yang sudah berada di Berlin dan juga mimpi-mimpinya.
"Tar, sakit gigi, ya?" tanya Helmi menolehkan kepalanya menatap Mentari yang masih diam saja. Mendapat dengusan kecil dari Mentari membuat Helmi tersenyum lebar. "Bercanda, habisnya kamu diem aja sih. Kalau menurut kamu gimana, Tar?"
"Gimana apanya?"
"Ya, itu soal Pandu. Menurut kamu gimana?"
Mentari membuang napas pendek. "Iya, wajarlah dia pinter."
"Udah, gitu doang?" tanya Helmi tidak percaya.
"Gitu doang apanya, Hel?" Tiba-tiba saja Bara sudah ada di depan meja mereka. Lalu melambaikan tangannya kepada Mentari dan tersenyum lebar.
"Ih, kamu kepo deh. Aku sama Mentari itu lagi bahas soal pertukaran pelajarnya Pandu ke Berlin. Keren banget nggak sih, Bar? Sumpah deh, aku jadi pengen juga bisa ke luar negeri. Pasti seru, jalan-jalan, eksplore ke tempat-tempat baru, dan—"
"Kebanyakan halu kamu, Hel!"
"Bara kok gituuuu?" Helmi cemberut, menatap Bara sebal, tapi sedetik kemudian sudut bibirnya terangkat lagi. "Tapi, kalau aku ikut ke luar negeri, nanti nggak bisa ketemu Bara dong. Ya udah deh, aku di Bandung aja. Setia sama Bandung, apalagi di Bandung sekarang udah ada Bara."
Mentari geleng-geleng kepala, dia memilih untuk mengeluarkan sketchbook miliknya. Kegiatan Mentari tak lepas dari pandangan Bara saat ini. Lelaki itu terus memerhatikan Mentari yang sudah siap tenggelam dengan dunia menggambarnya. Tatapan Bara tak lepas dari Mentari, lelaki itu membuang napas pendek. Melihat Bara yang terus memerhatikan Mentari membuat Helmi juga jadi ikut memerhatikan Mentari, lalu menoleh kepada Bara yang sekarang sudah berbicara dengan Niar dan Taryo di depannya.
***
Kelas sudah sepi karena bel sudah berdering sejak satu jam yang lalu. Namun, lelaki dengan hoodie abu-abu kembali lagi ke kelasnya. Dia belum pulang karena ada kumpulan dengan teman-teman ekskul kesenian. Lelaki itu menuju meja paling belakang, merogoh sesuatu di kolong meja.
Dan, dugaannya selama ini benar bahwa Mentari tidak benar-benar menerima pemberian sketchbook-nya. Bara melihat sketchbook di tangannya yang sudah lama diam-diam dia berikan kepada Mentari di mejanya. Dan, sketchbook itu masih tidak berubah. Masih terlihat baru seperti ketika Bara meletakkannya di meja Mentari.
Bara menatap sketchbook di tangannya sekali lagi, membuang napas lalu keluar kelas dengan membawa sketchbook itu dan memberikannya kepada adik kelas perempuan berkacamata yang sedang membaca buku di dekat tangga.
Dengan kebingungan di kepala, adik kelas itu tidak sempat menolak karena Bara sudah terlanjur pergi menuju parkiran. Dengan kecewa yang tak pernah diharapkannya, Bara segera mengendarai motornya menuju kedai tempat dia bekerja. Bara tahu dia akan kecewa dan patah hati, jadi Bara tidak apa-apa. Bara baik-baik saja karena dia sudah tahu sejak awal dengan apa yang akan didapatkannya.
Bahwa sekali lagi, Bara baik-baik saja.
***
Note:
Whoa! Udah, ya, aku nggak punya utang extra part atau bonus chapter lagi hehe. Semuanya sudah selesai. Rain sudah selesai. Horeeee!
Ayo, mari kita tumpengan bersama-sama.
Sejak tahun 2018 aku menuliskan cerita ini, tapi dengan segala kelabilan yang aku punya—hingga detik ini—ceritanya baru bisa selesai di tahun 2021 setelah banyaknya drama super ngaret.
Makasih banyak buat yang udah baca hingga part ini. Yang selalu membubuhkan bintang dan komentar-komentar yang menyenangkan. Terima kasih, ya!
Oh, iya, cerita ini akan pindah ke platform Dreame/Innovel yang bisa kalian download secara gratis di playstore. Dan, udah jelas berarti cerita ini akan aku unpublish. Hanya menyisakan enam part aja, selebihnya bisa dibaca gratis di aplikasi Dreame/Innovel ya.
Temukan aku di Dreame/Innovel dengan nama pengguna @jessica19
So, yash! Finally, tunggu cerita-cerita baruku, ya. Semoga selalu suka dengan karya-karyaku. Big thanks, Guys! Kalian bisa temukan aku di Instagram @wyffajc dan @halowyf
Regards,
Wyffa Jessica

KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Teen FictionDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...