Datang untuk pergi.
—Rain
***
Sebuah lukisan persegi berkisar ukuran dua puluh senti, dengan gambar seorang anak kecil perempuan, rambutnya dikucir dua, digandeng oleh seorang pria yang tak lain adalah seorang ayahnya. Mereka tertawa bahagia dengan sebuah eskrim di tangan anak kecil itu. Lukisan pemberian Pak Angga dan sebuah catatan bahwa itu adalah hasil lukisan almarhum ayah Mentari. Lukisan yang sudah lama disimpan dan diabadikan oleh Pak Angga di rumahnya dan diberikan secara cuma-cuma kepada Mentari.
Mentari banyak berterima kasih kepada Pak Angga yang sudah mengenalkan sedikit-banyak hasil lukisan almarhum ayahnya. Mentari tidak menyangka bahwa dia bisa kembali menemukan lukisan yang dibuat oleh ayahnya. Mentari akan menyimpan baik-baik lukisan yang diberi Pak Angga, berharap lukisan kali ini tidak akan dijual lagi oleh ibunya.
Sketsa wajah seseorang dalam sketchbook Mentari sudah selesai. Tatapan Mentari beralih melihat sketchbook miliknya dan menyimpan kembali lukisan di atas laci. Mentari menghela napas, dia tidak mungkin memberikannya pada Pandu. Sketsa wajah Pandu yang beberapa hari ini dibuatnya sudah jadi setelah banyak drama yang terjadi. Meski sebenarnya Mentari sangat ragu untuk memberikannya atau tidak. Namun, Mentari memilih untuk menyimpannya saja sendiri.
Suara ketukan pintu dari luar membuat Mentari menghela napas. Pasti ibunya sudah pulang. Dengan langkah gontai Mentari menuju pintu utama dan membukanya. Terkejut bukan main ketika mendapati Pandu sudah ada di hadapannya saat ini.
"Assalamualaikum,"
Mentari mengerjapkan matanya. "Waalaikumsalam. Kok—"
"Kemarin nggak sempat ke jalan Braga. Sekarang mau nggak, Tar?"
Demi apa pun Mentari tidak menyangka jika Pandu akan datang ke rumahnya. Melihat Pandu membuat Mentari menghela napas, mengingat berita yang beberapa hari lagi mungkin tidak akan bisa bertemu dengan Pandu.
"Kamu ngapain sih ke sini? Di rumah nggak ada orang. Kamu pulang aja."
"Saya mau ajak kamu jalan-jalan sore. Kemarin 'kan belum sempat ke jalan favorit kamu karena mau hujan. Sekarang sudah sempat. Gimana, mau 'kan?"
Pandu selalu menyebalkan di mata Mentari. Bagaimana bisa dia datang tiba-tiba dengan masih mengenakan seragam sekolahnya yang dibalut hoodie, lalu mengajaknya jalan-jalan sore.
"Saya nggak bisa, saya—"
"Tar, ada yang mau saya bicarakan sama kamu." Pandu menahan pintu yang akan ditutup oleh Mentari. "Sekali ini aja, Tar. Saya mau bicara sebentar kalau kamu emang nggak mau jalan-jalan sore nggak apa-apa. Tapi saya mau bicara sebentar aja, boleh?"
Mentari menghela napas, lalu mengajak Pandu untuk keluar rumah saja setelah mengunci pintu rumah karena di rumah tidak ada orang. Namun, Pandu justru menyuruh Mentari untuk naik ke sepedanya dan membawa Mentari jalan-jalan berkeliling. Hingga mereka sampai di jalan Braga yang selalu menjadi candu bagi Mentari. Padahal di sana tidak ada apa-apa yang istimewa, tapi bagi Mentari sungguh berbeda.
Bebatuan berbentuk bulat besar membentuk sebuah jajaran di atas trotoar pinggir jalan. Pandu menuntun sepedanya di sebelah Mentari. Lalu, Mentari menghentikan langkahnya karena tidak mau berbasa-basi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Teen FictionDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...