sendiri, aku terbiasa.
hanya kepada sepi aku berani berbicara. mengangkat dagu dengan jemawa, berani. sangat berani. hanya kepada aku, dari aku.—Rain
"Tari, kamu itu beruntung banget tau! Kamu harusnya terima tawaran Pandu. Jarang-jarang lho dia yang minta langsung."
Kepala Mentari rasanya pusing mendengar celotehan Helmi. Satu-satunya orang di kelas yang tidak juga menyerah berbicara dengan Mentari. Sejak semester pertama, Helmi ingin bisa berteman dekat dengan Mentari. Hanya saja Mentari tidak terlalu menanggapi dan menyikapinya seolah Helmi hanya teman seperti kebanyakan teman lainnya.
Helmi menghela napas, mempercepat langkahnya mengikuti Mentari hingga ke kantin. "Tar, tawarannya lumayan, kan bisa buat tambah uang jajan?"
"Makasih, Pak." Bukannya merespons perkataan Helmi, justru Mentari berbalik keluar kantin setelah membeli roti dan minum di kantin Pak Kadir.
Helmi mengejar Mentari, memanggilnya di sepanjang koridor. "Tari!"
Matahari siang ini tidak begitu menyengat. Mentari memutuskan untuk duduk di bawah pohon besar dekat lapangan. Menyumpal telinganya dengan headseat.
Sendirian. Itulah yang selalu Mentari rasakan selama hidupnya. Mentari sudah bersahabat dengan kesendirian. Dirinya bahkan tak merasakan lagi seperti apa rasa sepi. Baginya semua sudah terasa kebal.
Mentari merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Helmi. Menatapnya dan menghela napas. Mentari hanya melirik sekilas, mulutnya masih mengunyah roti.
"Aku iri sama kamu, Tar. Aku juga pengen jago gambar kayak kamu." Helmi menatap hampa lapangan. Di jam istirahat memang selalu ada saja siswa yang bermain basket atau sepak bola. "Cita-cita aku jadi komikus, tapi gambaranku nggak sekeren kamu."
Melihat Mentari yang masih diam saja membuat Helmi menarik headseat di telinga kiri Mentari. Ah, memakai headseat atau pun tidak, Mentari memang sering mengabaikannya. Namun, Helmi tetap ingin berteman baik dengan Mentari.
"Apa sih, Hel?"
"Kamu nggak denger tadi aku ngomong apa?"
Mentari menggeleng.
Tangan Helmi menepuk bahu Mentari berkali-kali. "Terkadang apa yang menurut kita nggak berharga, ternyata berharga buat orang lain."
Mentari hanya menatap punggung Helmi yang sudah menjauh. Mungkin sudah kembali ke kelasnya. Mentari mengangkat bahu, menyumpal kembali telinganya dengan headseat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Teen FictionDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...