Dia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain.
Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rasa penasaran itu membuatku tidak bisa berhenti mencari. Ada sesuatu yang istimewa dalam coretanmu yang tak pernah ingin kau tunjukkan pada siapa pun. Kalau begitu, biar aku saja yang menjadi orang pertama melihat keistimewaan coretan dirimu, boleh?
—Pandu Elangga Gerhana
***
"Mau sampai kapan sih, kamu berharap sama dia, Pan?" Pertanyaan itu sering Pandu dengar akhir-akhir ini. Pertanyaan yang bisa saja membuat dia menyerah. "Dia itu aneh, sombong. Buktinya berkali-kali kita mohon nggak pernah ada respons baik. Oh, ayolah, Pan, cari yang lain. Aku sama Piyan udah ada cadangan kok. Mau sampai kapan? Sampai acaranya berlangsung juga kalau dia bilang nggak mau, ya, nggak akan mau."
Entah yang ke berapa kalinya Intan membahas hal yang sama kepada Pandu, tapi jawabannya akan tetap sama. "Tan, kasih saya waktu. Saya yang bertanggung jawab atas semuanya. Kamu mau 'kan acara sekolah ini berjalan dengan bagus?"
"Emang bisa acara bagus dipersiapkan dadakan?"
Bukan tanpa alasan Intan membahas hal serupa, dia juga memiliki wewenang atas acara sekolah yang akan diadakan dua minggu ke depan. Menjadi Wakil Ketua OSIS membuat Intan juga merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk kepentingan sekolah. Dia tidak bisa membiarkan Pandu berjalan sendiri tanpa dirinya.
"Kamu nggak bisa seenaknya, Pan. Yang kerja itu bukan cuma kamu, proposal harus sudah diajukan. Tapi, apa sekarang? Kamu belum memutuskan apa-apa. Aku tahu semua ada di tangan kamu, tapi aku juga berhak atas tugas ini." Intan masih bersikeras dengan pendapatnya, begitu juga Pandu.
Banyak hal yang telah mereka lalui, perbedaan pendapat terkadang membuat keduanya tidak bisa diajak berdiskusi dengan baik.
Intan hanya menghela napas ketika Pandu diam saja. Intan berbicara lagi, "Emangnya apa, sih yang spesial dari si Mentari itu?"
Mendengar nama Mentari membuat Pandu sedikit terusik. Dia menoleh sekilas melihat Intan yang terlihat kesal. "Apa istimewanya dia sampai kamu rela nunggu keputusan dari dia?" tanya Intan lagi.
Inti dari anggota OSIS yang hadir hanya diam saja menyaksikan ketua dan wakil mereka berdebat. Jika sudah seperti ini, mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bukan mereka tidak ingin ikut campur, tapi mereka meyakini bahwa kinerja Pandu selalu berhasil dan sedikit kemungkinan untuk mengecewakan. Mereka mempercayakan Pandu, tapi melihat situasi dan waktu yang mendesak membuat mereka juga bingung.
"Kita bahas besok, udah sore waktunya pulang."
Pandu merapikan barang-barangnya membuat yang lain ikut melakukan hal yang sama. Intan tidak habis pikir dengan jalan pikiran Pandu. Dia kesal karena Pandu tidak menjawab perkataannya. Pandu merasa tertantang dengan penolakan Mentari. Jika sudah seperti ini, tidak ada yang tahu apa yang akan Pandu lakukan selanjutnya.