Rain ☔ 36

117 21 1
                                    

Mengapa? Satu pertanyaan itu selalu memenuhi kepalaku. Tentang kamu yang hadir ketika aku bahkan tak pernah menginginkannya.

—Rain

***

Beberapa hari setelah ajakan Barameru, sikap Helmi benar-benar berubah. Dia tidak lagi banyak berbicara di depan Mentari, menjawab seperlunya ketika ditanya teman-temannya, pergi ke kantin sendirian, dan yang sangat mengejutkan adalah ketika Helmi bahkan tidak menyapa atau tersenyum melihat Bara. Helmi saat ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Helmi yang dulu: Helmi yang selalu ceria dengan gaya ceriwisnya, cerewet dan cerita apa saja yang memenuhi kepalanya, atau sesekali mendumel kesal jika tidak direspons.

"Si Helmi kok jadi pendiam gitu, ya? Kesambet makhluk halus model apaan tuh anak?" Taryo baru saja duduk di kursinya dan bertanya pada Bara yang juga menyadari hal yang sama.

"Iya, Yo. Kenapa, ya, dia?" Bara mencoba berpikir, mengingat apa yang salah hingga Helmi bersikap tidak seperti biasanya. Meski Bara baru mengenal Helmi, tapi tetap saja karakter Helmi yang ceriwis seolah hilang begitu saja. "Apa jangan-jangan dia marah?"

"Marah kenapa?"

"Marah karena nggak kuajak duet di Kedai, Yo. Kayaknya iya marah, tapi 'kan dia sendiri yang kasih penawaran kalau berhasil ajak Mentari, dia minta duet. Kalau nggak, berarti duetnya gatot alias gagal total."

Taryo mengubah duduknya jadi menghadap Bara, lalu menoleh ke belakang tempat duduk Helmi. Melihat Bara, lalu melihat Helmi lagi. Taryo berpikir sebentar, mencoba menelaah apa yang telah terjadi.

"Biasanya Helmi kalau marah nggak pernah lama, Bar. Kok ini udah berhari-hari dia beda banget, terus diemnya ke semua orang. Nggak cuma ke kamu."

Mendengar perkataan Taryo membuat Bara ikut menoleh ke meja Helmi. Perempuan itu sedang menikmati sarapannya. Sedangkan Mentari justru sibuk dengan sketchbook dan pensil. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Bara langsung menghampiri meja Helmi dan Mentari.

"Hel, kamu marah, ya, karena nggak jadi duet?" Bara to the point mengatakan apa yang ingin ditanyakannya. "Kok jadi pendiam gini? Kalau mau marah, ya, marah aja. Jangan marah ke semua orang dong, Hel."

Helmi menghentikan kunyahannya, mendongak melihat Bara dan Taryo yang sekarang sudah ada di hadapannya. Taryo justru menyenggol lengan Bara, takut jika Helmi akan marah besar dan mengomel pagi-pagi.

"Hel, jawab dong. Kok diam aja?"

"Helmi?"

"Tar, Helmi kenapa sih?" Bara bertanya pada Mentari yang sibuk membuat sketsa. Mentari hanya mengangkat bahu karena memang dia juga benar-benar tidak tahu dan tidak mau tahu.

"Bar, kayaknya Helmi beneran kesambet makhluk halus modelan boneka Chucky. Serem banget ekspresi mukanya." bisik Taryo seketika meremang melihat tatapan Helmi.

"Man, Man, Man!" Bara menghentikan langkah Norman yang hendak melewatinya. "Man, coba deh panggil Helmi. Dia kenapa sih?"

"Helmi?" Norman mengerutkan kening tidak mengerti maksud Bara. "Helmi kenapa?"

Bara menghela napas, merasa frustasi dengan jawaban teman-temannya yang justru bertanya balik. Lalu Bara memanggil Niar yang mejanya bersebelahan dengan Mentari. Berharap kali ini dia tidak salah orang untuk bertanya lagi dan bisa mendapat jawaban yang membuat rasa penasarannya terjawab.

"Ni, sini deh!"

"Apa, Bar?"

"Helmi kenapa sih, kok jadi pendiam gini?"

Fokus Mentari seketika pecah. Mentari mudah buyar jika banyak suara di sekitarnya. Dia tidak lagi fokus menggambar sketsanya. Di sekeliling mejanya sudah ada Bara, Taryo, Norman dan Niar. Sedangkan Helmi masih diam dan melanjutkan sisa sarapannya. Mereka menunggu apa yang akan dikatakan oleh Niar, penasaran.

"Oh, Helmi?" tanya Niar memastikan pendengarannya. "Kata Helmi dia emang lagi mau jadi pendiam biar kayak Mentari. Nggak banyak omong, jawab seperlunya, apa-apa sendiri, nggak—"

"Hah?" Kompak Bara, Taryo dan Norman melongo.

"Hel—"

Mata Helmi menatap Niar seolah-olah mengatakan, "Ih, Niar nyebelin!". Niar yang ditatap seperti itu justru biasa saja dan kembali duduk di kursinya. Helmi menghela napas, menatap teman-temannya bergantian.

"Kenapa? Emangnya aku salah kalau mau kayak Mentari?" Akhirnya Helmi berbicara dengan ekspresi wajah sebal. "Nggak boleh kalau aku mau jadi pendiam?"

Mendengar namanya disebut-sebut, Mentari mengernyitkan dahinya tidak mengerti. "Kok saya?" tanya Mentari tidak terima.

"Ya ... aku mau jadi kamu, Tari." cicit Helmi mengembuskan napasnya perlahan. Helmi memejamkan matanya, tidak memedulikan tatapan teman-temannya yang lain. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Helmi keluar dari kelas begitu saja meninggalkan kebingungan teman-temannya.

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang