Rain ☔ 54

114 15 5
                                    

Dan bahkan lagi-lagi aku merasa kesepian setelah kemarin aku merasa memiliki seorang teman.

—Rain

***

"Mentari, ya ampun! Plis deh ini kamu harus tahu berita super duper hot hari ini." Helmi masuk ke kelas dan berlarian ke arah meja menghampiri Mentari yang sedang sibuk membuat sketsa pada sketchbook kesayangannya. Mentari tidak begitu tertarik, dia hanya menghela napas dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah Helmi.

Seruan Helmi tentu saja membuat orang-orang yang berada di dalam kelas jadi ikut menoleh. Namun, detik setelahnya mereka kembali sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Bagi mereka, melihat Helmi berteriak dan heboh di dalam kelas sudah biasa.

"Tari, kamu harus dengerin aku cerita. Plis, aku rasa kamu bakal tertarik kali ini, Tar. Sumpah deh, aku nggak nyangka banget ini tiba-tiba aku dapet kabar dari kelas tetangga ternyata ... " Helmi geleng-geleng kepala, membekap mulutnya sendiri tidak percaya dengan apa yang akan dikatakannya.

Mentari menoleh sekilas, tapi kehebohan Helmi tidak membuat Mentari tertarik sedikit pun. Mentari tidak mau tahu urusan orang lain, Mnetari tidak ingin ikut campur. Mentari lebih senang jika dia tidak tahu apa-apa.

"Ternyata bule yang waktu itu ada di kepala sekolah itu dari Berlin. Daebak!" Helmi bertepuk tangan, masih dengan ekspresi wajah tidak percaya. "Dan, kamu tahu nggak sih, Tar?" tanya Helmi, tidak peduli dengan Mentari yang akan meresponsnya atau tidak, Helmi akan tetap bercerita. Sudah biasa tidak direspons, tapi Mentari cukup jadi pendengar yang baik untuk Helmi. "Mereka datang ke sekolah kita karena untuk pertama kalinya mencari bibit unggul untuk pertukaran pelajar." Sekali lagi Helmi bertepuk tangan, lebih keras.

"Pertukaran pelajar?" tanya Mentari sedikit tertarik dengan apa yang dikatakan Helmi barusan. Dia baru mendengar bahwa sekolahnya akan melakukan pertukaran pelajar dengan negara lain. Sungguh sesuatu yang menakjubkan dan itu artinya sekolahnya termasuk yang favorit karena setara dengan sekolah internasional.

"Iya, Tari. Sumpah deh, keren banget, kan? Dan, kamu tahu nggak sih, Tar kalau ternyata udah ada siswa yang dipilih untuk pertukaran pelajar ke Berlin. Satu-satunya yang beruntung, yang berhasil dari sekolah kita, siswa yang ya ... udah nggak diraguin lagi sih. Ketua OSIS kita, Mentari. Ketua OSIS sekolah kita, si Pandu! Oemji, nggak nyangka banget, kan? First time, lho!"

Kegiatan membuat sketsa terhenti begitu saja ketika mendengar nama Pandu keluar dari mulut Helmi. Tunggu dulu, Mentari tidak mungkin salah dengar, kan? Mentari merasa pendengarannya masih baik-baik saja. Sketchbook yang awalnya selalu menarik, untuk saat ini, detik ini, tidak lagi. Pensilnya terlepas dari genggaman Mentari. Dia menoleh meminta Helmi untuk mengulanginya lagi.

"Pandu, Tar. Pandu si Ketua OSIS, sumpah, aku dengernya begitu." Jemari Helmi membentuk huruf V. Yang Mentari tahu bahwa selama ini Helmi selalu membawa berita yang akurat.

Namun, mengapa Pandu bahkan tidak mengatakan apa-apa kepada Mentari padahal kemarin Pandu yang mengantarnya pulang. Setelah kemarin Pandu menyuruh Mentari untuk pulang akhirnya Mentari mau kembali ke rumah karena dia juga tidak tahu harus pergi ke mana lagi selain ke rumah. Meski hubungannya dengan ibunya masih belum membaik, tapi ibunya masih tetap peduli dengan membuatkan teh hangat untuk Mentari ketika perempuan itu pulang ke rumah. Meski belum ada pembicaraan hangat di antara keduanya karena ego yang terus membunuh keduanya perlahan.

Bahkan Pandu tidak mengatakan apa-apa, tidak cerita apa pun mengenai dirinya yang akan ikut pertukaran pelajar ke Berlin. Mentari tahu, dia bukan siapa-siapa yang harus Pandu beritahu. Namun, bukannya kemarin Pandu yang menganggapnya sebagai teman? Bukankah seorang teman harus memberitahu temannya ketika akan pergi? Atau sekadar berpamitan?

"Kamu serius, Hel?"

"Serius, Tari! Anak-anak juga lagi rame bahas ini. Kalau nggak percaya, kamu tanya aja langsung ke Pandu deh."

Mentari masih belum bisa percaya dengan apa yang dikatakan Helmi. Bagaimana bisa secepat ini? Mendadak seperti ini? Bagaimana ceritanya bisa seperti ini? Banyak pertanyaan yang terputar dalam kepala Mentari yang ingin sekali dia tanyakan pada Pandu. Namun, untuk apa Mentari menanyakannya jika Pandu saja bahkan tidak mau menceritakannya?

Jika memang benar, seharusnya memang Pandu memberitahu kepada Mentari kemarin. Namun, Mentari bahkan tidak mendengar apa-apa dari mulut Pandu sendiri. Jadi, untuk apa Mentari mencari tahu jika Pandu tidak ingin Mentari mengetahuinya?

"Tar, kok kamu ngelamun?" Mentari tersentak ketika Helmi menggoyangkan bahunya. Mentari menggeleng, mengatakan bahwa dia tidak apa-apa. "Kamu sakit, Tar?"

"Nggak,"

Helmi hanya menghela napas, Mentari tidak pernah mau bercerita kepada Helmi meski berulang kali Helmi mencoba memahaminya. Namun, sama seperti Mentari yang masih tidak percaya, Helmi pun begitu.

"Kok bisa ya sekolah kita ada pertukaran pelajar segala? Udah kayak sekolahan yang isinya anak artis semua." Helmi geleng-geleng kepala, menopang dagunya.

Lalu dia beralih ke meja teman-temannya yang lain untuk menanyakan berita serupa yang baru saja didengarnya. Ingin tahu respons dari teman-temannya apakah sudah ada yang mengetahuinya apa belum. Hingga Helmi juga menanyakannya ke meja Bara dan Taryo. Namun, dia hanya mendapat gelengan takjub dari Taryo dan Bara yang justru langsung menoleh ke arah Mentari di belakangnya.

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang