Rain ☔ 39

129 20 6
                                    

Kalau bisa aku lakukan untuk menemukan jati diriku dengan mudah dan menyenangkan, pasti akan kulakukan. Namun, aku memilih untuk menutup rapat pintu jati diriku yang sesungguhnya. Jadi, tolong untuk tidak mengetuk pintu yang telah lama tertutup rapat.

—Pluviophille

***

"Good job, Mentari!" Pak Didi menepuk pundak Mentari berkali-kali. "Apa pun hasilnya, kamu sudah memberikan yang terbaik."

Jujur saja, Mentari tidak percaya pada dirinya sendiri hingga berada di hadapan Pak Didi saat ini. Mentari tidak menyangka bahwa perjalanan hobinya akan sampai di titik dia mengikuti lomba. Mentari tidak pernah berharap bahwa dia akan dilihat dan dikenal oleh orang-orang. Namun, sepertinya itu semua di luar kendali Mentari sebagai manusia biasa. Mentari tidak bisa menghentikan arus, atau dia akan tenggelam, atau mungkin hanyut terbawa arus yang penuh tantangan itu.

"Sama-sama, Pak." Mentari menyunggingkan senyumnya. Bagaimanapun, Pak Didi adalah seorang guru, orang tuanya di sekolah yang harus dihormati. Mentari harus bisa menurunkan egonya.

Sudah tiga puluh menit yang lalu, perlombaan akhirnya selesai. Semua peserta lomba dari SMAN 19 Bandung berkumpul di bawah pohon besar yang rindang di dekat aula. Tempatnya yang luas, banyak juga dari sekolah lain yang memilih berkumpul di sana, mengobrol, sambil menunggu pengumuman perlombaan karena eksklusif akan diberikan langsung oleh Wali Kota Bandung.

"Gimana lombanya, Tar? Lancar?" Bara berpindah di sebelah Mentari. Ikut duduk di akar besar pohon rindang bersama teman-teman yang lain.

Guru dari SMAN 19 Bandung yang ikut hanya ada tiga guru saja, guru-guru yang bersangkutan dengan perlombaan. Salah satunya Pak Didi. Tentu, Pak Didi jugalah yang bersangkutan dengan lomba yang diikuti oleh Barameru.

Mentari hanya mengangguk, tidak berniat membuka percakapan apa pun dengan Bara. Sedari tadi Mentari juga lebih banyak diam. Ah, Mentari memang selalu banyak diam daripada berbicara dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.

"Kamu gimana, Bara perasaannya ikut lomba nyanyi solo?" tanya Pak Didi yang berada di sebelah Bara. Semua guru dan murid berbaur, saling mengobrol, menceritakan apa yang telah terjadi dalam perlombaan, hingga guru-guru memberikan minuman dan makanan kepada murid-muridnya yang memang disiapkan sekolah untuk mereka semua.

"Nggak begitu nervous, Pak. Mungkin karena udah biasa. Cuman, agak insecure aja pas lihat peserta lain suaranya lebih bagus, main alat musiknya juga nggak kalah keren." jelas Bara panjang lebar. Jika Mentari perhatikan lebih dalam, Bara ini termasuk orang yang pandai bersosialisasi dan mudah akrab dengan siapa saja. Nyambung ketika diajak berbicara dan asyik, meski itu semuanya hanya terlihat dari sudut pandang Mentari saja saat ini.

Ketika Pak Didi asyik mengobrol dengan Barameru dan beberapa murid lainnya, Mentari memilih izin untuk ke toilet sebentar. Ketika hendak berdiri, dia berpapasan dengan Pandu dan dua siswa yang satu sekolah juga dengannya tengah membawa beberapa makanan dan dus air mineral.

Mentari melewati Pandu begitu saja. Lagi pula, Pandu juga sedang repot dan tidak begitu memerhatikan Mentari yang melewatinya. Dan, tentu, tidak ada hal yang harus dibahas.

Ketika Mentari selesai dari toilet, dia melihat hasil lukisan-lukisan peserta lomba melukis dipajang di depan aula. Langkah kaki Mentari berhenti, melihat-lihat lukisan-lukisan yang berjajar rapi. Mungkin sudah masuk penilaian, atau sedang dinilai, Mentari tidak tahu. Namun, banyak yang mengunjungi dan melihatnya sudah seperti pameran lukisan dadakan. Fokus Mentari berhenti pada satu pusat: lukisannya.

Seorang pria berkisar usia lima puluh tahunan—yang jika tidak salah dia merupakan juri Mentari tadi—sedang memerhatikan lukisan Mentari. Awalnya Mentari tidak sadar, tetapi ketika pria paruh baya itu berbincang dengan pria seumurannya membuat Mentari tak sengaja mendengar.

"Sepertinya saya nggak asing dengan lukisan seperti ini." ucap pria paruh baya dengan balutan kemeja sky blue di tubuhnya. "Lukisannya seperti..." pria itu memandang lukisan yang bertemakan kehidupan di desa itu dengan saksama. Pepohonan segar, sawah yang hijau, sungai bersih yang mengalir dengan baik, orang-orang bergotong-rotong, bekerja, bersekolah, semuanya menggambarkan kehidupan sebelum adanya perkembangan teknologi. "... seperti benar-benar hidup."

Pria paruh baya itu tersenyum, diikuti anggukan pria paruh baya berpakaian batik di sebelahnya. "Justru yang membuat saya tertarik itu tanda pengenalnya, Pak. Tanda pengenalnya mirip sekali dengan almarhum sahabat saya."

Tunggu. Mentari mencoba menajamkan pendengarannya, memastikan bahwa dia tidak mungkin salah dengar. Mentari mengernyit, kedua pria paruh baya itu masih mengobrol. Lukisan yang mereka bahas adalah milik Mentari.

Dan, tanda pengenal itu. Tanda pengenal itu membuat Mentari bertanya-tanya. Mengapa pria paruh baya yang berpakaian batik itu mengatakan bahwa tanda pengenalnya mirip dengan tanda pengenal lukisan almarhum sahabatnya?

Yang Mentari tahu, bahwa tanda pengenal yang dipakainya adalah tanda pengenal yang mirip dengan mendiang Ayahnya. Mentari sengaja membuat tanda pengenal yang penuh arti, yang baginya bisa selalu membuatnya mengingat sang Ayah.

Namun, mengapa justru ada yang mengenali kemiripan tanda pengenal milik Mentari dengan tanda pengenal lukisan milik almarhum Ayahnya?

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang