Aku selalu ragu dan takut untuk menerima dunia baru. Tentang orang-orang dengan isi kepalanya yang penuh. Dan, bagaimana jika aku bercerita, tapi isi kepala mereka menolak karena terlalu banyak muatannya? Bukankah itu lebih menyakitkan daripada cerita sebelum-sebelumnya?
—Mentari
***
"Saya murid pindahan, Pak dari Karawang. Kayaknya udah satu bulan lebih, mau dua bulan. Bandung ternyata adem ya, Pak."
"Wah, zaman Bapak masih sekolah dulu lebih adem lagi. Kerasa Bandung-nya. Kalau sekarang sudah nggak jauh beda dengan kota-kota lain, Bandung juga bisa macet, bisa panas meski nggak sepanas Jakarta."
Mentari hanya bisa menjadi pendengar dari dialog-dialog Pak Joko dengan Barameru. Kegiatan menyusun dan mendata buku-buku paket tidak begitu membosankan karena Pak Joko yang terus mengajak berbicara, sesekali menanyakan bagaimana pelajaran di kelas, atau apa pun hingga membicarakan keadaan kota Bandung yang tidak seperti zaman dulu lagi.
Mentari sesekali menjawab pertanyaan Pak Joko, tapi Bara lebih sering menjawab dan justru balik bertanya. Mentari memang tidak bisa membaca pikiran orang-orang di sekitarnya, tapi Mentari bisa melihat dan merasakan bahwa yang di hadapannya saat ini seperti Bapak dan anak yang saling bercerita. Pak Joko juga terkenal sebagai guru yang baik, mudah bergaul dengan murid-muridnya dan nyambung jika diajak berbicara. Selain itu, guru dengan peci hitam di kepalanya juga sering melemparkan candaan dan memiliki selera humor yang baik.
"Dulu saya nggak tahu Bandung, Pak. Pernah beberapa kali diajak Ayah saya ke Bandung, main ke rumah Paman. Memang sih, kerasa bedanya, ya, Pak. Saya yang nggak tinggal di Bandung aja bisa merasakan bedanya beberapa tahun lalu dengan sekarang. Apalagi zaman Bapak sekolah. Enak ya, Pak?" Bara terkekeh sembari tangannya sibuk mengeluarkan buku-buku dari kardus. "Apalagi Bandung itu terkenal dengan pohon-pohonnya yang besar di sekitar jalanan. Khas gitu, ya, Pak."
"Lah, iya, Bar. Untung kamu pindah ke Bandung." Pak Joko sedang mencatat, tapi tidak lelah juga menceritakan kisah masa lalunya. "Selain itu, Bandung juga terkenal dengan kenangannya. Tapi, zaman Bapak dulu belum ada motor-motor gede yang—apa itu namanya? Sampai sekarang Bapak masih simpan motor legenda zaman Bapak SMA dulu. Kalau dijual, bisa mahal itu harganya karena langka."
Pembicaraan tentang Bandung terhenti ketika Pandu datang dan menghampiri Pak Joko. Pandu ikut duduk lesehan di atas karpet hijau. Dia memberikan map berwarna kuning kepada Pak Joko.
"Terima kasih, Pan."
"Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?"
Pak Joko terlihat berpikir sebentar setelah membuka map. "Guru masih rapat, kan?" Pandu mengangguk. "Ya sudah, kamu dengan Bara tolong bantu Bapak angkat kardus-kardus ini ke gudang biar cepat selesai."
Pandu dan Bara saling pandang, mendengar hal itu membuat Bara langsung mendengus ketika melihat wajah Pandu lagi.
"Baik, Pak."
Ketika Bara dan Pandu akhirnya menurut dan melaksanakan tugas Pak Joko—membawa kardus-kardus ke gudang. Sedangkan Mentari masih membantu Pak Joko mendata buku yang sudah dirampungkan ke rak.
"Pak, ini sudah selesai."
"Bagus, terima kasih, ya." Pak Joko membenarkan letak kacamatanya seraya mengamati kertas yang Mentari sodorkan. "Nama kamu siapa?"
"Mentari, Pak."
"Oalah, Mentari, ya? Bapak sering lihat kamu ke perpustakaan, senang baca buku?"
Pertanyaan Pak Joko mendadak membuat Mentari tersenyum canggung. Mentari suka membaca, tapi dia lebih suka menggambar.
"Nggak terlalu suka, Pak. Cuma kalau memang ada waktu luang lebih sering ke perpustakaan aja."
"Bagus itu. Jarang ada anak sekolah zaman sekarang menghabiskan waktu di perpustakaan." Mentari hanya tersenyum sebagai balasan perkataan Pak Joko. "Tapi, Bapak perhatikan kamu sering sendiri ke sini, ya?"
"Iya, Pak."
"Bapak apresiasi kamu karena senang berkunjung ke perpustakaan. Tapi, Bapak menyarankan kalau kamu juga harus pandai bergaul dengan lingkunganmu. Dengan teman-teman sebaya kamu. Cari pergaulan yang baik, yang nyaman dengan kamu. Kita hanya manusia, makhluk sosial yang nggak bisa hidup sendiri 'kan?" Pak Joko tersenyum lebar, merapikan map-map yang berserakan di karpet hijau. "Anak muda harus cari relasi dan bakat. Kamu ini generasi bangsa, harus pandai membaca keadaan."
Bukan tanpa alasan Pak Joko mengatakan hal demikian. Pasalnya meski asyik berbicara dengan Barameru, tetapi Pak Joko memerhatikan gerak-gerik Mentari yang begitu tidak nyaman dan tidak tertarik. Mentari lebih banyak diam, menjawab seperlunya jika ditanya saja.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Novela JuvenilDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...