Rain ☔ 31

380 39 4
                                    

Di saat ada banyak orang menyerah dengan duniaku, tapi tidak denganmu.

—Pluviophille

***

Setelah melakukan hukuman karena terlambat, akhirnya Mentari bisa bernapas lega. Dirinya benar-benar lelah, apalagi perutnya sedari tadi meminta diisi karena energinya terkuras sejak pagi. Mentari membeli takoyaki di kantin Pak Kadir, harga satu takoyaki hanya seribu. Mentari memutuskan untuk membeli lima buah takoyaki.

Kantin tidak seramai biasanya, mungkin karena tadi ada waktu kosong dan guru-guru sedang rapat, kantin sudah menjadi sasaran empuk murid-murid. Jadi, Mentari memutuskan untuk duduk di salah satu meja yang kosong. Mentari menikmati acara makan takoyakinya sendirian. Sebenarnya Mentari tidak senang jika harus makan di kantin, tapi karena sedang tidak ramai, tidak masalah untuk Mentari.

Suapan takoyaki ketiga, Mentari terkejut ketika mendapati Barameru tiba-tiba saja duduk di hadapannya. Bara dengan mangkuk dan gelas berisi es teh di tangannya merasa tidak bersalah sama sekali karena duduk begitu saja. Bahkan Mentari mengurungkan suapan takoyaki selanjutnya.

"Masih banyak meja yang kosong."

"Kenapa harus sendiri kalau bersama bisa saling melengkapi bangku yang kosong?" balas Bara menaik-turunkan kedua alisnya.

Ketika Mentari mendadak tidak suka dengan kehadiran Bara, justru lelaki itu dengan santai menikmati bakso dan es tehnya. Mentari mendengus, cepat-cepat mengambil takoyaki dan minumannya untuk pindah ke meja sebelah. Namun, Bara justru mengekori Mentari dan mengikuti ke mana pun perempuan itu duduk. Berkali-kali pindah meja, berkali-kali juga Mentari berdecak kesal. Akhirnya Mentari mengalah dan membiarkan Bara duduk di tempat semula.

"Ribet banget sih, Tar? Makan, ya, tinggal makan." ujar Bara setelah menelan baksonya.

Mentari tidak menggubris, dia kembali menghabiskan takoyakinya cepat. Mentari ingin segera ke kelas, tapi itu bukan pilihan karena sudah jelas dia juga akan bertemu Bara lagi. Mentari tidak tahu mengapa laki-laki seperti Bara ingin berteman dan dekat dengannya. Seperti halnya dengan Helmi yang terus saja berusaha mencari ruang untuk bisa dekat dengan Mentari.

"Oh, iya, lusa sepulang sekolah ada acara nggak, Tar? Mampir ke kedai kopi, ya, ada yang spesial."

"Diskon?"

"Ternyata kamu suka diskonan juga, ya, Tar?" Barameru tertawa hingga matanya ikut menyipit. Ah, jangan lupakan lesung pipitnya yang tipis membuat kesan manis di wajah seorang Barameru. "Nggak nyangka ternyata—lho, Tar, mau ke mana?" teriak Bara ketika Mentari pergi begitu saja setelah makanannya habis.

Mentari tidak ada urusan dengan Bara, jadi untuk apa dia berlama-lama duduk dengannya? Lagi pula kantin juga sudah mulai ramai, tidak nyaman rasanya jika harus berdesakan.

Ketika Mentari hendak masuk ke kelas, dia mendapati Pandu yang baru saja keluar dari kelas Mentari hingga posisi mereka saat ini berpapasan. Tidak ada yang membuka suara di antara mereka, seolah-olah tatapan sudah lebih dari cukup untuk berbicara. Pandu memutuskan lebih dulu kontak mata mereka dan berlalu begitu saja melewati Mentari.

Lebih baik seperti ini, tidak saling mengenal, tidak saling menyapa, tidak saling berbicara agar tidak ada hati yang saling, lalu berubah menjadi sesuatu yang asing. Cukup seperti ini, tidak perlu melibatkan urusan yang lebih panjang lagi karena Mentari tidak ingin mencari tahu perihal apa pun itu.

Namun, Mentari salah. Ternyata semua urusan tidak berhenti sampai di sini. Tidak sekarang karena ketika masuk, Mentari disuguhkan oleh teriakan Helmi yang melambaikan tangannya menyuruh Mentari untuk segera ke mejanya.

"Tariiii! Cepetan deh, sini!" Helmi berseru hingga suaranya memenuhi ruangan kelas. "Ada yang kasih sketchbook dan kuas ke kamu."

Mentari mengerutkan kening, melihat sebuah sketchbook beserta jenis-jenis kuas sudah ada di kursinya. "Buat siapa?"

"Nggak tahu, di catatannya itu nama kamu. Pasti ngasihnya ke kamu. Siapa lagi coba di sini yang suka gambar selain kamu? Ya, kaaaan? Ih, bagus deh!"

"Kamu tahu ini dari siapa?" tanya Mentari mengambil sketchbook beserta beberapa kuas yang dibalut oleh plastik transparan.

"Nggak tahu, Tari. Waktu aku masuk kelas, tiba-tiba aja ini udah ada. Mungkin penggemar rahasia kamu kali? Cieee, Tari punya penggemar." Helmi bertepuk tangan hingga beberapa orang di dalam kelas jadi menoleh karena gaya ceriwisnya yang super berisik. "Udah, terima aja, Tari. Rezeki nggak boleh ditolak, lho. Lagi pula itu juga kesukaan kamu 'kan?"

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang