Rain ☔ 53

107 18 3
                                    

Hingga detik ini, aku bahkan tidak tahu siapa diriku sebenarnya. Aku tidak tahu mengapa harus aku yang merasakan kepedihan semua ini?

—Pluviophille

***

Hujan mulai reda, tapi Mentari masih belum mau beranjak. Tubuhnya sudah menggigil, bahkan kulitnya sudah mengerut akibat terlalu lama kena air. Mentari bahkan tidak peduli keadaannya, meski setidaknya Mentari sedikit lebih baik daripada tadi, tapi tetap saja rasa sakitnya tidak juga hilang. Mentari memeluk tubuhnya sendiri, dia berdiri dan beranjak dari batu besar yang sudah menemaninya menangis.

Terkejut ketika mendapati Pandu masih setia berada di belakangnya. Pandu berdiri ketika Mentari menghampirinya, bahkan Pandu tidak beranjak sedikit pun ketika sudah diusir oleh Mentari. Pandu menunggu Mentari, menjaga perempuan itu untuk memastikan keadaannya, walaupun Pandu tahu Mentari tidak baik-baik saja.

"Kamu ngapain sih masih di sini? Kamu nggak denger saya bilang apa? Saya mau sendiri—"

"Saya antar kamu pulang," ujar Pandu menatap Mentari yang kini memalingkan wajahnya ke jalanan.

Mentari menggeleng, "Saya nggak mau."

"Tar, Ibu kamu pasti nyariin kamu. Dia pasti khawatir dan takut kamu kenapa-kenapa. Ayo, pulang!" Pandu mencoba meraih tangan Mentari, tapi segera ditepis oleh perempuan itu. Mentari tetap menggeleng, dia memberanikan diri menatap mata Pandu.

"Saya nggak mau!" Suaranya naik satu oktaf. Seharusnya Pandu paling tahu bahwa sejak pertama mengenalnya pun, Mentari bahkan tidak suka diganggu. Mentari tidak suka diusik ketenangannya. Namun, untuk kali ini Pandu tidak peduli akan hal itu.

"Oke, kalau kamu nggak mau pulang, biar saya ikutin kamu."

"Bisa nggak sih—"

"Tar, saya tahu kamu nggak baik-baik saja. Saya tahu kamu butuh waktu untuk sendiri. Tapi, apa kamu nggak pernah sadar kalau selama ini kamu butuh seorang teman cerita? Oke, saya nggak akan paksa kamu untuk cerita. Tapi, izinkan saya temenin kamu. Nggak lebih, Tar. Itu aja,"

"Kenapa kamu harus peduli sama saya?"

"Karena saya peduli sama kamu."

"Iya, saya tanya kenapa?"

Jawaban Pandu tetap sama, jawaban yang membuat Mentari bungkam, tapi tidak bisa membuat Mentari puas dengan jawabannya. "Karena saya peduli sama kamu."

Mentari hanya diam setelah mendengar jawaban Pandu. Mentari bahkan tidak tahu lagi cara menyuruh Pandu untuk tidak mengganggunya karena Pandu pasti tidak akan pergi selama belum memastikan Mentari pulang.

Beberapa kali Pandu membujuk Mentari untuk pulang, Pandu akan menemani Mentari dan tetap membujuknya untuk mau pulang. Mentari harus pulang, bagaimanapun kondisi hubungan dengan orang tuanya, Mentari tetap harus pulang.

Setelah banyak cara Pandu membujuk Mentari, akhirnya Mentari hanya bisa diam saja. Mentari naik ke sepeda Pandu, memegang pundak lelaki itu yang akan membawanya pulang. Namun, Pandu justru membawanya ke sebuah warung yang tak jauh dari tempat tadi. Menyuruh Mentari untuk duduk di kursi panjang yang terhalang oleh terpal berwarna biru.

"Bu, jahe hangat dua, ya."

"Siap, tunggu, ya!"

Pandu duduk di sebelah Mentari, mengamati perempuan itu yang kini memeluk tubuhnya sendiri. Sama seperti Mentari, tubuh Pandu juga merasa kedinginan setelah tadi kehujanan. Ibu warung sempat keheranan melihat Mentari dan Pandu basah kuyup.

"Tar, mau nangis lagi?" tawar Pandu membuat Mentari langsung menoleh. Mentari mendengus, mendelik sebal menatap Pandu. Dia tidak menjawab, hanya diam saja. "Saya minta maaf udah ganggu kamu. Maaf kalau kamu nggak suka saya ikutin. Tapi, saya ... "

"Ini jahenya," Ibu warung menyodorkan dua gelas jahe hangat kepada Pandu, menghentikan ucapan lelaki itu.

"Oh, iya, makasih, Bu." Pandu memberikan satu gelasnya kepada Mentari yang langsung diterima perempuan itu. "Diminum, ya, Tar. Habis ini pulang, kalau kamu udah pulang langsung ganti baju. Mandi air hangat kalau bisa, nanti sakit."

"Bisa nggak sih kamu tuh nggak usah peduli sama saya?" Mentari menatap Pandu dengan sorot yang sangat redup, tapi sebisa mungkin Mentari memasang ekspresi biasa saja. "Bisa nggak sih jangan buat saya harus berutang budi lagi sama kamu?"

"Saya nggak pernah minta kamu untuk bayar apa pun. Saya cuma mau jadi teman kamu, boleh, kan?"

"Teman?"

"Maaf kalau saya terlambat mengenal kamu, Mentari. Maaf kalau sejak awal perkenalan kita nggak berkesan baik untuk kamu, tapi itu berkesan untuk saya." Pandu meletakkan gelas ke atas meja kayu di depannya.

Mentari menatap Pandu cukup lama, dia menghela napasnya lelah. "Saya tahu kamu orang baik, tapi saya nggak mau berteman dengan kamu."

"Itu terserah kamu, saya nggak akan tanya kenapa. Kalau gitu saya boleh minta tolong?"

"Apa?"

"Temukan sinar kamu yang udah lama hilang. Bahagia bisa dicari asalkan kamu mau mencari bahagia itu, Tar. Nggak harus cari ke mana-mana karena bahagianya sudah ada di kamu. Tepat di hati kamu, Mentari."

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang