Rain ☔ 1

23.4K 1K 20
                                    

padamu, aku takluk
padamu, aku jatuh
padamu, aku hilang

—hujan

Bagi Mentari, sketchbook tak boleh tertinggal ke mana pun dia pergi. Membuat sketsa sudah menjadi makanan setiap hari. Bagi Mentari, itu menyenangkan. Oh, Mentari tak suka keramaian, tapi Mentari juga tak suka kesepian. Mentari tak butuh banyak teman, dia hanya butuh ketulusan. Hidupnya terlalu banyak kepalsuan dan kasih sayang orang-orang di sekitarnya yang hanya berharap imbalan.

Mentari lelah, terkadang dia diam bukan dia tak berbicara. Dia hanya berbicara pada hatinya. Hanya hatinya. Mentari tak suka dengan orang-orang yang datang hanya mengatakan bahwa dia membutuhkannya.

"Saya nggak mau." Mentari tetap dengan keputusannya. Mata dan tangannya masih sibuk membuat sketsa sebuah gedung teater yang lama tak terpakai.

"Kamu dapat keuntungannya, sekolah akan bayar kamu. Lagi pula, itu juga akan membuat kamu lebih dikenal warga sekolah, kan? Kalau saya nggak salah, kamu nggak begitu banyak dikenal kalau bukan karena sketsa kamu."

Pandu Elangga Gerhana—ketua OSIS yang saat ini sibuk membujuk Mentari agar mau membantunya. Jika bukan karena kepentingan sekolah, Pandu tidak akan mau berlama-lama memohon pada Mentari. Masih banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Namun, sudah lima rekannya yang menghadap Mentari dan berujung dengan penolakan yang sama.

Mentari membungkam, menatap iris Pandu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Sama halnya, Pandu membalas tatapan Mentari. Tak ada gurat merona di wajah, tak ada kupu-kupu yang terbang di hatinya. Semua biasa saja.

"Kamu meminta saya untuk membantu acara sekolah, kamu menawarkan keuntungan yang bisa saya dapatkan, tapi kalau saya nggak salah dengar, kamu menghina saya?" Mentari tersenyum sinis.

"Saya nggak lagi menghina siapa-siapa. Saya berbicara sesuai fakta. Sudah lima rekan OSIS saya yang kamu tolak, Mentari. Dan, kamu tahu? Pekerjaan saya bukan hanya meminta kamu untuk membantu acara sekolah."

"Fakta? Fakta seperti apa yang kamu tahu tentang saya? Bahkan kita pertama kalinya berbicara, kamu yang mengajak saya bicara, ah lebih tepatnya kamu yang mengajak saya ribut." Mentari merapikan sketchbook-nya ke dalam tas. Terlalu lama dia membuang waktu untuk orang yang bahkan tak bisa menghargainya. "Saya harus pulang."

"Dua menit!" Pandu menarik tali ransel Mentari hingga Mentari kembali duduk. "Kamu mau apa agar kamu mau membantu saya menyelesaikan masalah ini?"

"Saya hanya minta kamu bisa menghargai orang lain ketika kamu membutuhkannya. Namun, saya rasa saya nggak perlu meminta apa-apa lagi karena saya juga nggak tertarik dengan tawaran kamu. Lagi pula banyak orang yang bisa membuat sketsa lebih bagus, lebih baik dari saya. Kenapa harus saya?" Mentari melipat tangannya, mengangkat dagunya jemawa. Bukan sombong, hanya saja orang seperti Pandu tidak bisa diperlakukan biasa saja.

"Karena saya percaya kamu bisa."

Lagi-lagi Mentari membungkam. Sudah cukup hari ini dia banyak berbicara dan ternyata tak berujung apa-apa. Sekali lagi Mentari menatap iris Pandu yang tajam, serius, tak ada ekspresi apa-apa, bahkan tak ada ekspresi memohon seperti kebanyakan orang ketika meminta bantuan.

•••

catatan:

haloooo, lama nggak menyapa. aku kembali dengan cerita Rain. awalnya cerita ini hanya cerita ngasal yang ada di kepalaku saat itu. tapi, aku berniat untuk mengubah alurnya. versi lama alurnya ringan, dan ini juga ringan sih. aku sengaja nggak terlalu berat karena aku mau menulis dengan enjoy.

aku berharap bahwa ceritaku ini bisa memberikan edukasi, moral kehidupan, dan pesan positif untuk yang membacanya. aku nggak akan fokus dengan bagian menye-menye yang uwu. jadi, jangan berekspektasi apa-apa, ya. semoga cerita ini bisa selesai dan semoga aku nggak labil lagi aamiin..

terimakasih sudah setia untuk pembaca versi lama, atau pembaca versi baru. kalian hebat!

salam,
Wyffa Jessica

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang