Dia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain.
Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jika batu yang keras saja akan retak bila berkali-kali terguyur air hujan, lalu bagaimana dengan hati?
-Rain
"Sejak kapan suka menggambar?"
Mentari tersentak ketika seseorang duduk di sebelahnya-duduk tepat di kursi milik Helmi. Matanya menangkap seorang lelaki yang belakangan ini sering sekali mengganggu ketenangan Mentari. Seorang murid yang belum lama ini berstatus pindahan ternyata sudah memiliki banyak teman. Katanya sih, wajar banyak yang mengenalnya karena dia seorang youtuber. Namun, kok Mentari tidak mengenalnya? Mungkin memang dia saja yang tidak begitu terkenal, atau paling-paling memiliki subscribers setidaknya seribu.
Mentari celingukan, menatap sekeliling kelasnya yang sedang asyik dengan kegiatan bebas di jam kosong. Dia menatap sekilas lelaki di sebelahnya dan kembali melanjutkan garis demi garis yang dia coretkan pada sketchbook kesayangannya.
"Halo, saya sedang bicara dengan kamu, Mentari."
Bara kembali bersuara ketika Mentari hanya diam saja. Seolah menganggap Bara tidak ada dan menganggap suara Bara hanyalah angin lalu yang tidak berarti apa-apa.
"Kamu itu aneh, ya, Mentari. Saya heran dengan orang sepertimu, tapi sesekali saya juga penasaran dengan kamu." Bara menopang kepalanya untuk melihat Mentari yang masih fokus dengan gambarannya. "Sketsa dan semua gambaran kamu juga nggak ada bedanya dengan kamu. Sama-"
"Kenapa?" Mentari balas menjawab perkataan Bara. Tatapannya tajam, tapi tidak ada ekspresi apa pun di wajahnya. "Sama-sama aneh?" Mentari menaikkan alis, tersenyum miring.
"Mungkin, tapi saya suka yang aneh-aneh." Bara tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. Oh, Bara juga memiliki lesung pipit yang jika tersenyum manisnya akan berkali-kali lipat. Pantas saja Helmi selalu histeris ketika menceritakan Bara, bagaimana wajah dan karisma seorang Barameru.
"Oh, ya?" Mentari menantang, sinis. Dia kembali menggambar, apa pun perkataan Bara cukup menyebalkan di telinga Mentari.
"Mentari, ada yang cari, tuh!"
Teriakan teman sekelasnya dari depan pintu membuat Mentari mendongak. Temannya berteriak lagi agar Mentari menemui orang yang mencarinya. Mentari menghela napas, meletakkan pensil di atas sketchbook dan berlalu begitu saja meninggalkan sketchbook dan Bara.
Kedua sudut bibir Bara terangkat melihat sketsa yang dibuat oleh Mentari. Sebuah rumah pohon yang belum selesai digambar. Indah, Bara akui bahwa Mentari memang pandai menggambar.
Mentari menghela napas ketika dia sudah sampai di depan pintu dan mendapati Pandu, si ketua OSIS yang masih gencar memaksa Mentari untuk mau membantunya.
"Gimana?" Tangan Pandu dipenuhi oleh beberapa map. Tipikal murid yang sibuk atau mungkin sok sibuk, begitu pikir Mentari.
Ketika Mentari hendak berbalik masuk ke kelas, suara Pandu membuatnya menghentikan langkah. "Masih keras kepala juga?" Mentari menghela napas gusar. "Saya jadi bingung, kamu itu sekeras batu apa, sih?"
Mendengan perkataan Pandu membuat Mentari kembali menghadap Pandu. Mentari melipat kedua tangannya di dada, membalas tatapan Pandu. "Kamu itu nggak paham atau gimana?" Mentari terlihat sebal sekaligus kesal dengan perkataan Pandu. "Banyak orang memuji kamu, bilang kalau kamu pintar, si ketua OSIS kebanggaan guru-guru. Tapi, kamu bahkan nggak ngerti juga setelah berkali-kali saya bilang kalau saya nggak mau?"
"Sejak kapan kamu memperhatikan perkataan orang-orang tentang saya?" Pandu tertawa kecil, menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mentari berdecak kesal. "Buang-buang waktu bicara sama kamu!"
"Saya masih punya waktu. Saya percaya sekeras apa pun batu pasti akan retak juga kalau terus-menerus diguyur air." Pandu tersenyum penuh arti. "Kamu batu dan saya airnya."