Rain ☔ 24

590 49 1
                                    

Hidupku saat ini adalah mimpi burukku.

—Mentari

***

Langkah Mentari terhenti ketika melihat mobil sedan berwarna hitam terparkir di depan gerbang. Mentari membuka gerbang perlahan, langkah kakinya menjadi pelan. Sepasang sepatu hitam mengkilat dan sepasang heels berwarna merah cabai berada di depan pintu. Mentari mengepalkan kedua tangan, napasnya memburu, matanya terpejam sesaat. Rasa sakit memenuhi hatinya. Dadanya seperti terhimpit batu yang sangat besar. Mentari selalu berharap bahwa dia segera terbangun dari mimpi buruknya. Mentari hanya berharap bahwa semua kehidupannya saat ini hanyalah palsu dan tidak nyata. Namun, yang Mentari lihat justru terasa sangat nyata.

Ketika Mentari hendak berbalik menjauh dari pintu, suara seseorang membuatnya kembali menghentikan langkah. Suara yang berhasil menggoreskan luka pada hati Mentari. Suara yang berhasil menumbuhkan kebencian dalam diri Mentari.

"Mau ke mana kamu?"

Mentari diam, tidak berbalik. Dia hanya diam saja menahan rasa sesak. Mentari ingin pergi, tapi kakinya terasa lemas tak berdaya. Mentari tahu ini bukanlah luka yang pertama kalinya, melainkan yang ke sekian kali. Namun, tetap saja rasanya akan selalu menyakitkan.

"Baru pulang mau pergi lagi?" Suara itu semakin dekat bersamaan dengan langkah kaki yang bersahutan. Mentari memejamkan mata, menoleh ketika wanita dan pria paruh baya sudah ada di hadapannya. "Kamu jaga rumah, beres-beres, Ibu mau pergi."

"Ayo, Sayang!"

Tangan kekar seorang pria berjas hitam melingkar di pinggang wanita dengan heels merah itu. Mereka berdua keluar dari gerbang dan langsung masuk ke sedan mewah yang berada di luar gerbang. Siapa pun bisa mengira bahwa mereka adalah pasangan yang berbahagia. Namun, tidak akan pernah mengira bahwa ada seseorang yang diam-diam hatinya sangat terluka.

Air mata Mentari mengalir begitu saja tanpa dia sadari. Sekuat apa pun Mentari menahan, dia akan runtuh pada akhirnya. Dia bahkan tidak bisa melawan, dia selalu kalah. Mentari tidak tahu sampai kapan luka terus berada di hatinya.

Mentari duduk di teras rumahnya, menatap kosong halaman yang dipenuhi dedaunan kering. Cepat-cepat dia menghapus air matanya. Mentari menyimpan ransel di atas meja, lalu mengambil sapu lidi yang bersandar di tembok dekat halaman.

Masih dengan seragam sekolah, Mentari menyapu bagian halaman. Daun-daun mulai berguguran. Ketika menyapu, Mentari menyaksikan daun yang terjatuh tertiup angin. Mentari merendahkan tubuhnya, mengambil daun setengah kuning cokelat itu dan mengamatinya.

"Nak, garis kehidupan manusia sebelum semesta ini dibentuk pun sudah ditetapkan. Bahkan, daun yang jatuh pun sudah memiliki ketetapan mutlak. Daun yang jatuh tidak pernah menyalahkan takdir karena memang itu sudah menjadi ketetapan-Nya."

Mentari tersenyum kecil ketika mengingat perkataan mendiang ayahnya. Jika boleh, Mentari hanya ingin diberikan waktu satu hari saja untuk mengulang waktu paling indah, paling menyenangkan, dan itu adalah waktu bersama ayah tercinta.

Seketika Mentari tersadar dari lamunannya, dia berlari mengambil sesuatu di dalam tas membiarkan sapu lidi tergeletak begitu saja. Mentari membawa sketchbook dan cat air, dia kembali ke tempat semula dan duduk di bebatuan. Matanya menatap sekeliling halaman, dia membiarkan daun-daun kering berserakan di halaman rumahnya dan mengambil kesempatan itu untuk menciptakan sebuah lukisan sederhana.

Sore itu, sepulang sekolah, tepat di halaman rumahnya yang sederhana, Mentari duduk di bebatuan dan mulai menggoreskan pena pada sketchbook miliknya. Setidaknya, hanya dengan itu dia bisa melupakan sedikit kepahitan yang baru saja dirasakannya.

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang