Aku menikmati waktu yang dititipkan semesta dengan berusaha baik. Meski aku tidak tahu pada saat kapan aku benar-benar baik-baik saja.
—Pluviophille
***
"Tar, aku pengen deh kayak kamu. Bisa dilihat Bara, diajak ngobrol sama Bara kayak yang aku lihat akhir-akhir ini. Sekalinya aku bisa ngobrol sama Bara, pasti dia nanyain kamu. Nanyain gimana kamu—"
"Hel, bisa nggak sih, sehari aja kamu nggak bahas Bara?"
Helmi menggeleng cepat. "Nggak bisa dong, Tar. Kamu tuh harus tahu kalau Bara itu mirip sama aktor Korea. Terus, ya, dia juga youtuber. Dan kamu tahu nggak, Tar?" Helmi memukul-mukul meja, seolah-olah apa yang akan dikatakan selanjutnya adalah berita paling menarik. "Dia sekarang jadi barista di salah satu kedai kopi jalan Braga. Pokoknya sehabis ini aku mau ke sana, kamu mau ikut nggak. Tar?"
Mentari ingat pertemuannya dengan Bara saat malam Minggu di kedai kopi jalan Braga. Dia mengangkat alis menatap Helmi yang sudah berdiri dan selesai memakai sepatunya.
"Sampai segitunya kamu tahu. Ngefans atau gimana?" tanya Mentari yang masih mengikat tali sepatunya. Mereka baru saja melakukan praktikum di laboratorium Kimia. Dan selama di laboratorium, telinga Mentari rasanya panas mendengar Helmi terus bercerita mengenai Bara padahal sudah tertangkap basah oleh Bara yang mendengarkannya. Respons Bara tidak terkejut sama sekali, justru dia hanya tersenyum membuat Helmi semakin tidak keruan.
"Tar, aku ini selalu cerita sama kamu, lho. Masa kamu nggak pernah dengarkan. Jelaslah aku ngefans, aku suka sama dia. Kan udah kubilang kalau dia mirip aktor Korea."
Mentari sudah menyelesaikan ikatan tali pada sepatunya. Dia berdiri dan menemukan Bara ternyata baru saja keluar dari laboratorium bersama Taryo. Mentari melirik Helmi yang hanya tersenyum lebar kepada Bara.
"Masih belum selesai juga ngomongin Bara?" Taryo geleng-geleng kepala melihat Helmi yang menggaruk kepalanya. "Sekali-kali ngomongin kekaguman kamu sama aku dong, Hel."
Helmi berlagak ingin muntah membuat Bara tertawa. Bara melihat Mentari yang sudah selesai mengikat tali sepatunya. "Hai," ucap Bara, tapi tidak dihiraukan oleh Mentari.
Tanpa mengatakan apa-apa, Mentari berlalu begitu saja meninggalkan Helmi yang menggerutu kesal karena ditinggalkan. Helmi mengejar Mentari dengan wajah masam. Bibirnya maju beberapa senti.
"Tuh, kan, aku bilang juga apa kalau aku pengen jadi kamu, Tar. Disapa hai sama Bara 'kan mau juga."
"Bilang langsung aja ke orangnya." balas Mentari acuh tak acuh.
"Kamu yang disapa hai, aku yang baper tahu!" Helmi masih menggerutu sepanjang jalan menuju kelas. Sedangkan Mentari memilih untuk tidak menanggapinya lagi. Percuma saja menanggapi Helmi tidak akan pernah ada habisnya.
Mereka sudah sampai di kelas dan sekarang Helmi diam. Mungkin dia lelah karena dua jam pelajaran tadi dihabiskan dengan banyak bercerita tentang Bara.
"Tari, kamu dipanggil Pak Didi." Norman—ketua kelas Mentari menghampirinya ketika Mentari baru saja duduk.
"Ada apa?" tanya Mentari, tapi Norman menggeleng tidak tahu dan berlalu pergi.
"Pak Didi?" tanya Helmi memastikan pendengarannya. "Kamu dipanggil Pak Didi? Ngapain?" Mentari hanya menggeleng karena dia juga tidak tahu. "Mau aku temenin ke ruang guru?" tawar Helmi membuat Mentari menggeleng lagi.
Mentari memang selalu menolak Helmi untuk mengantarnya ke toilet atau ke ruang guru. Namun, Helmi tetap saja menawarkan jasa antarnya pada Mentari. Meski Mentari banyak mendiamkan Helmi dan tidak memedulikannya, tapi Helmi tetap saja ingin berteman dengan Mentari. Mentari juga heran, seperti apa Helmi sebenarnya?
***
![](https://img.wattpad.com/cover/138481097-288-k69811.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Genç KurguDia Mentari. Kehidupannya yang tak lepas dari sketchbook dan menggambar. Mentari suka hujan. Katanya, dia bisa ikut menangis tanpa ketahuan oleh orang lain. Di sekolah, Mentari tak punya banyak teman. Dia sudah biasa sendiri. Mentari tak suka teman...