Bab 7

9.3K 518 10
                                    

Nathan

Baik. Mendadak keadaan awkward karena kebodohanku. 

Aku bodoh karena menuangkan sebuah pertanyaan yang bodoh pula kepada gadis kecil di hadapanku yang memasang wajah polosnya.

Lyana terkesiap menatapku, hingga kedua matanya beberapa berkedip seperti 'ini serius Om Nathan nanya hal itu?'

Aku melihat Lyana menggeleng setelah Bi Ida menggodanya dan bertanya apakah Lyana memiliki pacar atau nggak. Seharusnya itu sudah menjadi sebuah jawaban bukan?

Tapi kenapa saraf di kepalaku mendesak mulutku untuk menanyakan pertanyaan itu?

Dan mulut ini langsung sinkron dengan perintah otak dan mendadak patuh.

"Kamu udah punya pacar?"

Rasanya aku ingin menutup wajahku dengan serbet sekarang juga.

"Nggak Om."

Satu kata yang keluar dari mulut Lyana terasa melegakan benakku.

Iya aku lega dan itu aneh.

Iya.

Aneh.

Aku aneh.

Lyana punya pacar atau tidak seharusnya aku tidak perlu memusingkannya.

Wajar saja bukan jika Lyana punya pacar diumurnya saat ini?

Lagi jaman merajut cinta monyet untuk seumuran Lyana.

Harusnya aku memaklumi.

Tapi kenapa justru aku tidak suka mendengarnya?

"Kalau Om udah punya pacar?"

Lyana kembali bertanya setelah aku menarik napas.

"Om--"

"Nggak punya juga ya? Sama dong Om." Celetuk Lyana dan terkekeh jenaka.

"Sok tahu kamu." Aku mendengus.

Lyana berdecak, "Kalau Om punya pacar, Om nggak mungkin ketiduran di ruang kerja karena bekerja."

"Loh kamu tahu aku ketiduran?" Aku mulai meraih roti goreng dengan isian kacang ijo. Aku menggigitnya dan alisku terangkat sambil kepalaku manggut-manggut.

Enak.

"Tadi pagi Lyana ke kamar Om tapi Om nggak ada. Pas Lyana nengok ruang kerja Om ternyata Om tidur disitu. Lyana nggak tega bangunin Om."

"Memangnya kamu mau ngapain ke kamar aku?"

"Lyana mau bangunin Om buat sarapan bareng." Jawabnya.

"Terus kenapa kamu nggak bangunin aku?"

"Lyana nggak tega bangunin Om. Kayaknya Om lelah banget. Jadi Lyana makan sendiri aja."

Aku jadi nggak enak hati mendengarnya. Entahlah. Dua hari ini aku sudah melewatkan sarapan pagi bersamanya. Sepertinya El dan Milly membiasakan anak-anaknya untuk bisa sarapan bersama, mungkin karena itu saat aku tidak bisa sarapan bersamanya wajah Lyana menunjukan raut sedih.

Seperti saat ini. Wajah sendu itu tertangkap olehku meski Lyana berusaha untuk menerbitkan seulas senyum.

"Maafin Om ya. Om memang suka bangun kesiangan. Besok Om akan bangun lebih pagi biar kita bisa sarapan bersama." Putusku setelah aku mengunyah suapan terakhir roti pertamaku.

"Nggak apa-apa kok Om. Lyana ngerti pasti Om lelah bekerja."

Aku hanya menggeleng dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Hi, OM NATHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang