Bab 53

5.3K 387 44
                                    

Nathan

Aku tidak pernah segugup ini.

Sumpah, rasanya aku ingin sekali tenggelam ke dalam samudera agar orang lain tidak bisa menarikku ke permukaan.

Kerongkonganku naik turun. Terasa pahit dan perih bersamaan.

Tak lupa bulir keringatku malu-malu keluar disela telingaku.

Tuhan, jika aku tahu aku harus menghadapi kenyataan ini, sungguh--aku belum siap.

Di depanku, El duduk terdiam menghadapku dengan gaya arogannya; tangan terlipat didepan dadan dengan satu kakinya bersila menopong satu kakinya. Tatapannya hanya berpusat padaku, dari atas kepala hingga ujung sepatuku.

Perhatiannya tak sedikitpun terlewatkan. Tatapannya bagaikan pisau yang siap mencincangku kapanpun.

Di samping El ada Adit. Kakak ipar El yang juga tampak menilaiku dari ujung kepala sampai ujung kakiku. Lalu juga ada Karmila, istri Adit duduk di samping Milly dan Lyana.

Aku grogi karena tatapan delik mereka menatap hunus padaku? Maaf, kalian salah. Ini yang membuatku keringat dingin.

Papahku dan Mamah Risma juga duduk tenang diantara kami. Berbeda dengan El, Papah dan Mamah Risma menatapku penuh tanda tanya.

Ternyata El menjemput Papah dan Mamah ke Bandara tanpa sepengetahuanku. Aku juga menatap heran, biasanya Papah dan Mamah akan mengabariku jika mereka akan bertandang ke Bekasi dan mereka akan memintaku untuk menyusul ke Bekasi.

Tapi ini tidak. Papah dan Mamah tidak ada yang menghubungiku. Bahkan tidak ada satupun pesan singkat dari mereka yang mengatakan kalau mereka di Bandara.

Pun El demikian. El hanya memintaku datang disaat jam sarapan dan--

Sial!! El ternyata mengerjaiku.

Dibalik maksud terselubungnya, aku memikirkannya dengan teliti. Kalaupun ia ingin aku mengutarakannya didepan Papah dan Mamah--jujur saja--nyaliku belum diambang kata siap.

Apa ia tidak mengerti posisiku?

Aku berhasil mengutarakan hubunganku dengan Lyana ke El saja, aku butuh perjuangan yang luar biasa diawal.

Dan sekarang El mengujiku lagi dengan menghadirkan keluarga besar di rumahnya. Dimana awalnya aku dan Lyana baru kembali bertatap muka, saling mengadu kesedihan dan aku dipergoki mereka yang langsung dihadiahi tatapan heran.

Sampai saat ini kami semua terdiam, saling melayangkan tatapan satu sama lain. Hanya tinggal menunggu siapa lebih dulu membuka pembicaraan kami.

Ken melirikku sambil menyenggol kakiku dengan kakinya. Mengisyaratkanku untuk membuka obrolan lebih dulu. Tapi isyarat Ken sia-sia karena bibirku masih terkatup rapat. Otak dan bibirku serempak kelu. Tidak tahu apa yang harus kukatakan selain diam dan menunggu siapa yang berhasil memancingku berbicara.

"Aku lapar.." Akhirnya Adit bersuara. Sebelum berdiri, ia menyapu tangannya diatas paha.

"Sayang, aku bantu pindahin makanan ke piring. Dimana kamu taru makanannya tadi?"

Alihkan Adit dan Karmila yang menuju dapur. Sengaja meninggalkan kami yang masih berada di dalam ketegangan ini.

Begitu juga Ken. Kalau ia pergi, aku tidak akan menahannya. Karena kalaupun aku jadi Ken, aku akan melakukan hal yang sama.

Jadi Ken melangkah ke luar. Membiarkan aku sendiri di sini menghadapi masalahku.

"Aku.. aku ingin menyampaikan sesuatu.."

Hi, OM NATHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang