Bab 43

4K 303 27
                                    

"Terima kasih sudah mau mengantarku, Nathan. Aku benar-benar terbantu karenamu."

Aku dan Zahra duduk santai di bawah pohon rimbun taman Rumah Sakit. Hari ini Zahra mendapat jadwal kontrol pertama diawal trisemesternya.

Aku dan Zahra mengunjungi Dokter Kandungan yang diarahkan oleh Dokter Yogi. Masih di Rumah Sakit yang sama saat Zahra dirawat sebelumnya. Karena ini kontrol pertama, aku tak luput menrmani Zahra yang sudah merasa gugup sejak kami berangkat ke Rumah Sakit.

"Maaf juga untuk yang tadi. Aku nggak sengaja bohong sama Dokter Kandungan tadi kalau aku bilang kamu adalah suamiku." Zahra memberi dua jari sebagai tanda perdamaiannya padaku. Dengan alasan gugup juga, saat Dokter Kandungan bertanya akan statusku yang datang bersama Zahra, gelagapan Zahra mengatakan jika aku suaminya.

Mau nggak mau aku hanya terdiam dan membiarkan Dokter Kandungan itu memberikan wejangan yang sangat amat terperinci padaku. Karena yang ia tahu aku adalah suami Zahra.

"Mau bagaimana lagi. Sudah terlanjur kamu mengatakannya begitu." Jawabku seadanya.

Cukup sekian lama, akhirnya Zahra memberanikan diri untuk menceritakan semuanya padaku tentang kehamilannya. Aku sempat terkejut mendengar ceritanya. Tapi aku hanya diam menyimaknya dan tak berkomentar apapun sampai Zahra selesai menceritakannya.

"Aku sudah melakukan banyak kesalahan, jadi aku tidak mau melakukan kesalahan yang jauh lebih buruk. Anakku nggak salah. Dia justru adalah anugerah untukku."

"Aku senang kamu memutuskan untuk merawat calon anakmu. Aku bangga padamu."

Aku mengutarakan perasaanku atas keputusan Zahra. Saat kutahu kehadiran anak itu awalnya tak diinginkan Zahra, aku cemas. Tapi akhirnya aku lega Zahra akan mempertanggung jawabkan dan akan merawat anaknya setelah cukup lama Zahra meratapi keadaannya. Zahra tersenyum mendengar pujianku.

Setelah sekian lama aku menjaga Zahra, baru hari ini aku terharu melihat kebinaran Zahra tak luput di wajahnya. Saat Dokter Kandungan menjelaskan kondisi calon anaknya dalam keadaan sehat, Zahra tak berhenti tersenyum senang sampai saat ini.

Terkadang ia mengelus perutnya dengan tatapan sayang sambil mengajaknya berbicara. Itu juga membuatku tersentuh.

"Dia adalah separuh jiwaku sekarang. Aku tidak akan menyia-nyiakannya."

"Baguslah kalau begitu." Balasku.

Kami sama-sama tersenyum dan Zahra mengelus perutnya lagi. 

"Nathan, jika aku memiliki kesempatan terakhir, boleh aku mengatakan sejujurnya padamu?"

Zahra mulai mengganti topik percakapan kami.

"Apa?"

Zahra berdeham dan kembali mengelus perutnya. "Aku ingin kamu tahu apa alasanku meninggalkanmu saat itu."

Aku terdiam sejenak. Percakapan ini di luar ekspektasiku. Niatnya aku cuma ingin menemaninya kontrol setelah itu aku harus pergi.

Hari ini aku juga berencana untuk berangkat ke Bekasi. Hari ini adalah jadwalku bertemu gadis kecilku. Sedari tadi pikiranku berkelana memikirkan Lyana. Apalagi aku sudah memiliki banyak kesalahan padanya. Aku harus segera menebusnya dengan bertemu dengannya hari ini.

Bahkan rencananya aku meliburkan diri sampai 4 hari ke depan agar aku memiliki banyak waktu bersama Lyana di sana.

Tapi aku sudah menjanjikan diriku sebelumnya untuk bersedia menemani Zahra kontrol pertamanya hari ini. Jadi pagi-pagi tadi aku buru-buru berangkat menjemput Zahra dulu. 

"Itu sudah tidak penting lagi untukku. Kurasa.."

"Mungkin kamu tidak menganggapnya penting lagi, tapi aku tidak. Aku nggak bermaksud mengingatkan luka itu lagi, tapi aku hanya ingin kamu tahu. Setidaknya, aku akan merasa lega karena aku tak harus menyembunyikannya darimu lagi."

Hi, OM NATHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang