Bab 33

4.7K 295 6
                                    

Ting!

Ting!!

Ting!!!

"Makan yang benar Nat!" Aku berdecak dihadiahi tatapan jengkel El setelah aku akhirnya berhasil memotong daging di piring dengan penuh tenaga karena sulit terpotong menggunakan pisau.

Cukup lama aku beradu dengan potongan daging steak buatan Milly yang dibalur saus jamur serta taburan sayuran segar. Tampak lezat saat baru dihidangkan tepat di depanku, tapi ekspektasiku meleset saat aku tahu aku membutuhkan waktu cukup lama hanya untuk memotong daging itu.

"Steak buatan Mamah enak banget!" Kini terdengar pujian Lyana kepada Milly. Pipinya penuh dengan makanan dan melahapnya senang, lalu tersenyum setelah Milly memberikan senyumannya lebih dulu. 

Begitu juga dengan El. El juga memuji masakan Milly. Tampak santai dan terlihat tidak memiliki kesulitan saat dia memotong daging itu menjadi kecil. Dipotong satu persatu lalu El lahap dengan nikmat.

Tapi kenapa hanya aku saja yang sibuk sendiri dengan daging ini? Sangat sulit dicacah oleh gigi gerahamku, seperti aku mengunyah karet. Terlalu kenyal dan juga keras.

Rasanya mau kumuntahkan.

Apes banget.

"Kenapa Om Nathan?" Rupanya keterdiamanku diamati Lyana yang duduk di sampingku. Dia tampak bingung melihat makananku belum terlihat berkurang di atas piring, lalu pandangannya berganti menatapku yang kembali berusaha keras mengunyah daging.

Sesukanya aku makan steak dan tidak pernah aku sisakan sedikitpun, baru kali ini aku berniat untuk tidak menghabiskannya. Bahkan aku ingin membuangnya ke temoat sampah. Tapi kalau tidak kuhabiskan, mubazir. Aku juga tidak enak hati sama Milly, segan mengatakan sejujurnya kalau aku sudah tidak sanggup untuk mengunyah daging itu lagi.

"Steak-nya nggak enak Om?"

Aku menghela napas, kayaknya Lyana tahu kalau aku mulai tidak minat memakan makananku lagi setelah aku menaru alat makan di atas piring. Tanda aku benar benar menyudahinya. Tanpa kusadari Milly juga tengah melihatku dan Lyana lalu melihat makananku yang terlihat masih utuh.

Segera aku menggeleng, "Enak kok."

"Tapi kok belum habis? Lyana saja sudah habis." Dengan wajah polosnya Lyana menunjukan piringnya. Habis. Tak ada tersisa daging secuilpun di sana. Hanya ada sisa beberapa batang buncis yang kutahu Lyana tidak suka memakan sayur itu.

Sesaat aku memandangi piring kotor Lyana, lalu mataku beralih ke arah kerah pakaian Lyana yang sedikit menurun. Menunjukan belahan dadanya yang terselip bercak merah di sana.

Melihat itu suasana hatiku berubah senang karena bercak merah itu adalah hasil perbuatanku. Tidak hanya di tengah antara dua bukit kembar Lyana. Itu baru satu yang terlihat. Karyaku lainnya masih tersimpan baik dibalik kaos kebesaran yang dipakai Lyana.

Sebelum karyaku tercipta di sana, tentu aku sudah ijin sama si empunya. Setelah aku memainkan dua bukit kembarnya menggunakan satu tanganku.

"Boleh aku cium?" Permintaanku lainnya langsung diangguki Lyana. Aku tersenyum senang, rupanya tidak sulit aku meminta ijin pada gadis kecilku. Sebelum Lyana berubah pikiran aku langsung melancarkan niatku.

Satu tanganku kembali naik, memainkan satu bukitnya yang terasa kenyal digenggamanku. Yang satu lagi aku kulum dengan bibirku. Mengecupnya lalu memainkannya dengan lidahku.

Lyana menggeliat dan meremang di atasku. Wajah memerah itu menikmatinya. Dan Lyana tentu menyukainya, karena Lyana mendorong kepalaku, tidak membiarkan aku melepaskannya. Walau sedetikpun.

Hi, OM NATHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang