Lyana
Sedari tadi aku tak henti menatap awan gelap yang menurunkan rintikan hujan. Aku duduk di dekat jendela sambil menikmati kesendirian ku.
Sraasshhh..
Dibalik jendela yang basah karena air hujan, aku bergumam kesal kenapa hari ini hujan harus turun. Padahal aku sudah lama menantikan hari ini, dimana Papah sudah berjanji padaku untuk mengajak ku ke taman bermain jika nilai ujian ku memuaskan. Aku akan bermain sepuasnya selama seharian penuh.
Susah payah aku belajar dengan giat agar aku memperoleh nilai terbaik saat ujian berlangsung, ketika aku berhasil dan menagih janji Papah aku harus menelan kekecewaan ku karena Papah terpaksa membatalkan janji kami.
Saat itu aku hanya mendengus kesal dan memilih mengurung diri di kamar. Sebuah boneka kuda poni yang bertengger di senderan tempat tidur aku ambil lalu aku melempar bonekanya berkali-kali di tempat tidur dan kulempar secara kasar ke bawah sebagai bentuk pelampiasan kemarahan ku.
Tapi tak lama aku memungutnya lagi dan kuletakan di samping ku untuk menemani ku memandangi hujan.
Maafkan aku kuda poni. Ucapku dalam hati sambil mengelus boneka poni.
Masih memandangi hujan turun dibalik jendela, sesekali jemari ku memainkan embun kaca yang menempel. Jemari ku mulai memainkan embun. Iseng, aku menggerakan jemari ku membentuk beberapa bentuk.
Lingkaran. Trapesium. Garis lurus lalu membentuk sebuah gelombang yang tak beraturan. Terakhir aku mencoba membuat pola hati setelah aku melihat buku bergambar ku yang menggambarkan sebuah boneka teddy bear yang memiliki bentuk hati berwarna merah di dasi yang melekat di leher.
Cukup lama hujan mengguyur deras, terlihat juga angin berayun lebat, dan seketika aku tersentak ketika lampu kamar ku mendadak padam.
Mungkin karena hujannya semakin lebat sehingga pemadaman listrik harus terjadi. Namun entah kenapa, bagiku kamar ku jadi terasa sangat gelap. Biasanya nggak segelap sekarang ini.
Awalnya aku masih bisa bersikap biasa saja. Tangan ku mulai mencoba meraba sesuatu di sekitar ku. Seingat ku, aku ada simpan senter kecil di atas laci.
Perlahan aku berjalan sambil meraba sesuatu yang bisa kusentuh. Ketika langkah ku menyentuh kaki laci, kedua tangan ku meraba puncak laci. Aku menyentuh beberapa pensil dan buku yang tadi sempat kumainkan. Akhirnya aku menemukan senter ku.
Namun sebelum aku berhasil menyalakan senter ku, munculah sebuah kilatan petir besar melalui pantulan jendela yang membuat ku kembali tersentak kaget. Kilatan itu begitu memekakan penglihatan ku sehingga aku sontak menoleh ke arah jendela kamar.
Tak lama suara petir bergemuruh kencang. Suara tersebut seolah ingin mengguncang Bumi hingga aku kelabakan dan memekik kaget sambil menutup kedua telinga ku dengan kuat.
Tidak hanya sekali, kilatan dan suara petir itu terus muncul berkali-kali. Hal itu membuat ketakutan ku makin mencuat dan aku berteriak memanggil Papah dan Mamah.
Ingin segera pergi dari kamar dan menyusul Papah dan Mamah, aku mencoba mencari lagi senter yang terjatuh karena aku kaget mendengar petir tadi. Tadi saat terjatuh, senter itu mengenai kaki ku.
Seharusnya aku nggak butuh waktu cukup lama untuk mencarinya, namun tangan ku tak dapat menemukan senter di dekat ku. Aku mulai merangkak lambat mencari senter, hingga aku menyentuh kaki tempat tidur.
Petir kembali muncul melalui pantulan jendela. Pantulan itu kembali menyentakan ku, hingga sesuatu bayangan hitam, besar dan terlihat mengerikan itu muncul secara tiba-tiba di sudut kamar dan aku kembali berteriak ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, OM NATHAN!
RomanceNathaniel Salim (Nathan) tidak mengerti dengan dirinya sendiri sejak Lyana Bramawan (Lyana) menginap di Rumahnya karena sang kakak meminta Nathan untuk menjaga Lyana selama ia pergi. Selama Lyana disana, Nathan fokus menjaga Lyana. Pikirannya hanya...