Bab 22

6.1K 391 18
                                    

Nathan

"Apa mungkin, lo punya perasaan khusus sama Lyana?"

Seketika suasana berubah canggung setelah Ken melontarkan pertanyaan yang diluar ekspektasiku.

Meski Ken tampak biasa saja memandangiku, beberapa detik napasku tercekat.

Aku seperti seorang tersangka kelas kakap yang sedang disidak penegak hukum. Pertanyaan yang seharusnya mudah kujawab, justru aku membisu karena lidahku mendadak kaku.

Tatapan Ken yang begitu lurus menatap tepat di kedua mataku seolah ia menuntut jawabanku. Hingga membuatku merasa sedikit tertekan.

Cukup lama kami terdiam dan saling melempar pandangan satu sama lain. Ditambah suasana begitu sunyi, hingga aku bisa mendengar secara jelas hentakan jarum jam yang menempel di ruang tengah, serta hawa dingin malam yang semakin lama mengusikku.

"Kenapa--lo menanyakan itu?"

Akhirnya suaraku keluar dari kerongkonganku, tapi ucapanku membuat alis Ken terangkat. Tampak heran mendengarku yang memberikan pertanyaan balik. Bukan jawaban yang ingin Ken dengar.

"Gue hanya memastikan saja. Habis, tatapan lo ke Lyana beda gitu soalnya." Lalu Ken mengendikan bahu, masih bertahan memasang wajah santainya saat menatapku.

Namun hal itu membuatku agak sulit menelan saliva.

"Tapi sepertinya gue salah paham. Maaf gue nanya kayak gitu ke lo, Nat."

Ken tersenyum lalu menepuk bahuku. Seketika suasana tak lagi canggung.

Canggung? Sepertinya hanya aku sendiri yang mengalami itu. Berbanding terbalik dengan Ken. Pria yang sudah menjadi sahabatku sejak lama bertolak pinggang sambil menyengir jenaka, menunjukan deretan giginya yang terlihat rapih.

"It's fine, dude." Aku mendengus sambil menaikan sudut bibirku.

"Kenapa juga ya gue bisa berpikir kayak gitu ke lo padahal jelas-jelas lo sama Lyana saudara?"

Saudara. 

Iya. Ken benar. Aku dan Lyana memang saudara.

Lyana adalah keponakanku, dan aku adalah Omnya.

Akan tetapi pernyataan itu mulai mengusikku.

"Lupakan semua omongan ngawur gue barusan! Ini mulut emang minta disentil. Suka asal ngomong."

Pria di hadapanku ini menarik tangannya untuk menyentil bibirnya sambil menggeleng pelan atas ulahnya. Kembali ia meyakinkanku agar aku tak perlu menggubrisnya dan kembali ia mengucapkan permohonan maaf.

Tak lama lampu menyala menderang seisi rumahku. Rupanya pemadaman berakhir lebih cepat. Aku langsung bergegas merapihkan ruang tengah yang terlihat agak berantakan.

Mula-mula aku memungut batangan lilin di atas meja dan kuletakan di tempat semula. Sementara Ken merapihkan sofa serta bantal-bantalnya ke posisi mereka diawal dan meletakan lampu elektrik di samping meja.

Setelah aku melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukan melewati dini hari, aku langsung menawarkan Ken untuk tinggal sebagai bentuk rasa terima kasihku dan Ken langsung menerimanya.

-o-

Getaran ponselku di tempat tidur memaksaku untuk membuka mata. Sebelum aku beranjak, aku menggeledah tempat tidur dan mencari sumber perusak tidurku itu.

Aku langsung bergerak bangun ketika aku mendapati layar ponselku yang menunjukan pukul 10. Sial! Aku terlambat pergi bekerja.

Setelah mengusap wajahku untuk mengusir rasa kantuk sesaat, aku kembali memandangi layar ponsel, membuka aplikasi chat dan langsung mengetik untuk memberikan pesan kepada admin kantorku jika aku datang terlambat.

Hi, OM NATHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang