Bab 38

4K 256 8
                                    

Malam semakin larut. Tapi aku belum merasa ngantuk. Tersisa setengah botol wine kutuangkan ke gelasku lalu kuminum dengan sekali teguk.

"Lihat! Yang tadi nggak mau minum sekarang hampir menghabiskan satu botol seorang diri. Lo kayak habis putus cinta." Gerutu El tak kutanggapi. Karena dia salah.

Ini semua karena seorang perempuan yang sekarang kutahu dia adalah teman sekelas Lyana telah merusak suasana hati gadis kecilku sampai aku didiamkan olehnya.

Seketika malam mingguku ikut rusak.

"Ada masalah? Gue lihat anak gue tiba tiba jutek sejak pulang sama lo. Kalian berantem?"

Aku menggeleng. "Tidak."

"Lantas kenapa? Lo juga mendadak loyo dan tiba tiba ngajak gue minum."

Aku meneguk segelas wine lagi sampai habis. Lalu meletakan gelasku kasar sampai El terperangah.

"Gue balik ke kamar."

Tak hanya itu, permintaan Lyana yang menyuruhku untuk tidak menceritakan hal tersebut pada El dan Milly membuatku merasa tercekat.

Aku seperti seorang intel yang harus menjaga sebuah rahasia besar. Jika tak sengaja kukuak, maka aku akan mendapatkan masalah besar.

"Om, janji sama Lyana ya kalau Om nggak akan bilang Papah dan Mamah soal kejadian tadi ya."

Aku tidak mengiyakan permintaannya, tapi aku malah terdiam seribu bahasa. Lyana yang ceria dan lembut itu berubah dingin dan tertutup. Sisi Lyana yang baru kuketahui.

Aku jadi penasaran siapa perempuan itu. Ketika perempuan itu melihat Lyana, tatapannya penuh kebencian. Begitupun Lyana. Kenapa mereka saling membenci?

Yang sampai saat ini aku masih tidak menyangka, perempuan itu berani berkata kasar didepanku. Padahal kami belum pernah bertemu. Mengenal saja tidak.

Besok, aku harus membicarakan hal ini ke Lyana. Aku butuh penjelasan.

-o-

Besoknya, kupikir aku akan mendapatkan penjelasan dari Lyana tentang semalam.

Dari pagi, siang, hingga aku mulai mempersiapkan diri untuk kembali ke Bandung, tapi gadis kecilku diaam seribu bahasa.

Bahkan, Lyana tidak mengacuhkanku. Aku seperti sosok yang tidak terlihat. Tak ada interaksi diantara kami.

Hanya makan bersama dalam diam. Sempat berpapasan beberapa kali, entah di dapur atau di ruang tengah, Lyana tak berniat mendekatiku.

Justru menjauhiku.

"Nggak ada yang ketinggalan kan?"

El memperhatikan barang bawaanku. Hanya setenteng tas ransel yang kubawa. Aku memang nggak terlalu bawa banyak barang.

Kecuali hatiku. Hatiku tertinggal untuk Lyana. Tapi Lyana tak kunjung menemuiku. Rasanya dadaku seakan ditekan kuat-kuat.

Sampai aku melangkah ke luar rumah, Lyana masih belum kunjung terlihat. Yang kutahu Lyana berada didalam kamar seharian ini. Mengurung diri.

"Kayaknya Lyana tidur deh. Nanti aku kasih tahu kalau kamu sudah pergi ke Bandung." Milly mengikuti pandanganku yang menengadah ke atas. Melihat jendela kamar Lyana yang terbuka. Tapi Lyana tak terlihat juga di sana.

Setelah menghela napas, membuang harapanku untuk bertemu Lyana sebelum pulang, aku masuk ke dalam mobil dan mulai menjalankannya.

Mobilku hampir mendekati gate keluar, tapi aku langsung menepikan mobilku ketika aku melihat kaca spion. Aku melihat Lyana menyusulku menggunakan sepeda dengan laju cepat.

Aku langsung keluar dari mobil setelah menepi. Menghampiri Lyana yang berhenti tepat didepan mobil.

"Om Nathan." suara Lyana terengah. Tampak lelah setelah mengejarku. Lalu ia menepikan sepedanya di trotoar dan aku terperangah ketika Lyana langsung memelukku.

"Om Nathan, maafin Lyana ya Om karena sudah cuekin Om Nathan seharian ini."

Aku sontak tersenyum dan membalas pelukannya.

"Sebenarnya Lyana nggak enak sama Om gara-gara semalam Wanda menjelekan Om di tempat umum."

Ah--jadi nama perempuan itu Wanda.

"Dan dia juga menjelekan kamu. Jujur aku tersinggung dengan ucapannya."

Siapa sih yang nggak tersinggung dengan ucapan Wanda semalam? Kalau bukan karena tempat umum dan dia bukan perempuan, sudah pasti kuhajar habis-habisan karena mulutnya nggak bisa dididik dengan baik.

"Wanda memang begitu. Tapi Om nggak usah khawatir. Lyana akan menyelesaikannya." Lyana menengadah menatapku. Tatapan teduh dan senyumannya menenangkanku. Aku lega Lyanaku kembali lagi.

"Tapi kayaknya dia benci sama kamu."

"Dia memang begitu." Balasnya.

"Dia benar membencimu?"

"Lyana bilang Om nggak usah khawatir," Lyana tersenyum lagi. "Lyana akan membicarakannya baik baik."

"Jangan sampai aku mendengar kalian berantem. Nggak boleh. Kalian harus berteman baik. Janji!"

Aku mengulurkan jari kelingkingku pada Lyana. Lyana langsung meraihnya dengan menyematkan kekingkingnya ke kelingkingku.

"Lyana janji." Lyana mengangguk mantap.

-o-

Zahra tak kuasa menahan air matanya. Berusaha keras ia menahan diri. Sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, air mata itu keluar begitu saja. Meluluhkan ketegarannya.

Zahra sangat amat hancur.

Sudah tidak ada harapan lagi untuk ia berpijak. Menatap ke atas saja rasanya sudah tidak sanggup.

Di kubik kecil yang lembab Zahra meringkukkan badannya. Sekujur tubuhnya basah karena guyuran air dari keran yang sengaja Zahra nyalakan. Mungkin saja, air itu dapat melunturkan kehancurannya.

Tapi yang ada kehancurannya semakin menyudutkannya. Membuatnya merasa kecil. Tak berdaya.

Guyuran air pun juga tak mampu menghapus kesedihannya. Rautnya pucat pasi. Terlihat menyedihkan. Putus asa. Lalu Zahra berteriak tidak jelas. Meluapkan kesakitannya selama ini.

Tapi lagi-lagi Zahra merasa sia-sia. Keadaannya tidak berubah.

Sampai tatapan tajamnya melihat kembali secarik putih kecil yang tergeletak tak jauh darinya.

Zahra mengambilnya. Menatapnya dengan seksama akan benda putih yang menunjukan dua garis merah disana.

Zahra kecolongan. Ada nyawa didalam perutnya.

Zahra pikir ia bersih. Zahra pikir pria itu juga mengeluarkannya diluar.

Dan saat Zahra menghubungi pria itu dan menjelaskan bahwa ia hamil, pria itu memakinya. Menyalahkannya dan bahkan pria itu justru mengolok Zahra. Mengatakan dengan kata kasar jika Zahra memerasnya. Memakinya dengan kata-kata memilukan. 

Kini Zahra tidak bisa berpikir. Namun, terbesit kata menggugurkan di kepalanya.

"Tidak. Aku tidak mau melakukannya."

Zahra masih sadar jika menggugurkan bukanlah ide yang tepat. Kemungkinan buruk akan terjadi jika ia memaksakan diri.

Jadi, Zahra butuh menenangkan diri. Baru setelah itu Zahra akan berpikir apa yang harus ia lakukan untuk kedepannya.

-o-

Maaf updatenya sedikit. Lg gak enak badan 🤧

Hi, OM NATHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang