Bab 52

5.1K 351 22
                                    

~~Selamat malam minggu~~
.
.
.

Nathan

Aku menepati janjiku. Dengan langkah tergesa-gesa aku melangkah memasuki rumah El bersama Ken. Pandangan pertama yang kudapati adalah suasana yang sepi di area ruang tamu. Bahkan di meja makan dan dapur, tidak ada satu orangpun yang terlihat selain deru kesunyian.

Aku menatap sekelilingku heran. Kembali teringat dengan ucapan El yang memintaku datang saat jam sarapan berlangsung.

Ini masih pukul 7 pagi, tapi tidak ada satupun orang yang memenuhi area meja makan.

Apa El sedang mengerjaiku?

"Sepi. Dimana kakak lo?"

Itulah pertanyaan yang sedari tadi berputar di kepalaku. Merasa cemas, aku mencoba untuk memanggil El dengan nada tinggi. Tak kusangka aku melihat siluet seseorang di lantai 2 dan hendak menuruni anak tangga.

Seseorang yang kucari selama ini kini berdiri dideretan anak tangga dengan ekspresi tercengangnya menatapku dan Ken.

"Om Nathan.."

Kecemasanku lenyap dengan siasat nakalku untuk mencari kesempatan sebelum hal itu juga lenyap. Aku menarik Lyana hingga ia berada di ddalam dekapanku.

Aroma tubuhnya, lembutnya setiap surai rambut panjangnya, deru napasnya yang menyapa permukaan kulitku hingga detak jantung yang dapat kurasakan. Aku tak perlu lagi bersusah payah membayangkannya lagi, karena sekarang hal itu sudah bisa kunikmati kembali hanya dengan memeluknya erat.

Dan kupastikan ini bukanlah mimpi, karena sekarang aku pun dapat menatap wajah cantiknya dengan pipi bersemu merah menatapku. Netra hitam pekatnya menatapku dalam, menghipnotisku agar aku tak berpaling kemana pun.

"Lyana.."

Hanya beberapa saat kami saling memandangi satu sama lain. Aku yakin Lyana sama takjubnya denganku karena sudah lama kami tidak saling bertemu sejak saat itu.

Kini aku tidak perlu bersusah payah meminta waktu Lyana melalui El. Lyana sudah ada dihadapanku. Aku akan menggunakan kesempatan ini untuk menyelesaikan masalah kami terlebih dahulu.

Aku membawa Lyana ke halaman belakang. Kupikir tempat itu cukup bagus untuk membicarakan permasalahan kami.

"Om Nathan.."

"Boleh aku yang berbicara lebih dulu, Lyana?"

Tanpa berpikir panjang, aku memotong ucapan Lyana. Aku ingin Lyana mendengarkan penjelasanku sebelum ia menjabarkan spekulasinya.

"Tapi Om Nathan—"

"Lyn,"

Aku menekukkan lututku, bersimpuh dihadapan Lyana dengan satu tanganku menggenggam erat satu tangan Lyana. Dengan sorot mataku, aku menyampaikan sirat rasa bersalah dan kesedihanku padanya.

"Tolong, maafkan aku Lyana. Maafkan aku yang sempat tidak menghiraukanmu. Maafkan aku yang telah membiarkanmu menunggu kabar dariku. Maafkan aku yang telah membuatmu mencemaskanku. Maafkan aku yang telah membuatmu berbohong pada Papah dan nekat ke Bandung mencariku. Maafkan aku yang telah merusak kepercayaanmu."

"Aku mohon, maafkan aku Lyana." Kepalaku tertunduk dengan rasa penyesalan. Sungguh, mendongak untuk menatapnya aku merasa berat. Aku merasa tak mampu sebelum Lyana memberi maafnya padaku.

Aku jadi teringat disaat Lyana bercerita padaku ketika ia masih tinggal di rumahku di Bandung. Lyana cerita kalau ia merasa tersentuh dengan salah satu kisah film romantis yang Lyana tonton di sebuah kaset CD untuk pertama kalinya.

Hi, OM NATHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang