Bab 40

4.7K 280 19
                                    

Aku terdiam sejenak menatap kamarku yang terlihat kapal pecah.

Tak kusangka, cukup lama aku menelantarkan kamarku beberapa hari ini, aku baru sadar jika barang-barang berserakan serta sprei kasur tidak sesuai pada tempatnya.

Ya aku sadar aku meninggalkan kamarku dalam keadaan berantakan. Tapi aku nggak nyangka saja bisa seberantakan ini. Bahkan lantai kamarku terasa lengket di telapak kakiku walau hanya beberapa kali melangkah. 

Awalnya Bi Idah menawarkan diri untuk membersihkan kamarku. Beliau tahu kalau aku lagi jarang membersihkan kamar akhir-akhir ini. Tapi aku segan, nggak enak juga jika teritoriku dilihat orang lain. Apalagi perempuan paruh baya.

Tanpa berpikir panjang aku menolak tawaran Bi Idah. Akan tetapi melihat keadaan kamarku yang ternyata seperti ini, aku agak sedikit..menyesal.

Dengan gontai aku mulai membungkuk dan tanganku bergerak memunguti lembar perlembar kertas yang bertebaran di area kasur, barang-barang perintilan seperti bulpoint kupungut, juga botol minum kosong kubuang ke tempat sampah. Sprei aku tarik dan kugulung, lalu mengganti sprei lama dengan sprei baru.

Setelah itu, aku mulai mengambil peralatan pembersih lainnya seperti sapu, penyemprot dan alat pel. Pelan-pelan aku memulainya dengan membersihkan debu di lemari dan seriap sudut yang terlihat. Lalu aku menyapu kamarku dan diakhiri dengan mengepel lantai.

Bersih dan wangi. Sesuai yang kumau. Aku buru-buru ke kamar mandi karena tubuhku butuh dibersihkan juga. Tapi setelah itu aku nggak langsung berbaring tempat tidur, tempat dimana aku sudah merindukannya sejak tadi siang. Tempat terbaik untuk tubuhku yang mulai terasa rontok ini. Tapi tidak bisa sekarang. Karena aku harus kembali pergi.

Kaos polo putih dengan celana panjang abu-abu sudah melekat di tubuh dan aku langsung keluar lagi menuju mobil.

Kembali aku menempuh perjalanan selama 20 KM menuju Rumah Sakit. Dimana Zahra sudah menungguku di sana dan aku akan mengantarnya ke Apartemen. 

Sebelumnya pulang aku ke Rumah Sakit, saat itu Dokter Yogi mengunjungi ruangan Zahra untuk pengecekan rutin. Dokter Yogi mengatakan jika Zahra sudah dinyatakan pulih dan besok Zahra sudah bisa pulang. Tapi mendengar itu Zahra langsung memohon ke Dokter Yogi untuk pulang malam ini namun Dokter Yogi bergeming.

Tidak melihat ada secerca harapan dari Dokter Yogi, Zahra memintaku untuk membawanya pulang. Kalau tidak, dia mengancam untuk tidak makan dan minum obat sampai Dokter mengijinkannya.

Terpaksa aku dan Dokter mengiyakannya.

"Gue lagi di perjalanan." Ucapku sambil menjepit ponselku menggunakan sebelah bahuku. Ken meneleponku saat aku berada di lampu merah.

"Lo antar Zahra pulang malam ini?"

Sudah kupastikan Ken mengetahuinya dari Dokter Yogi. Aku memang belum sempat mengabari Ken kalau Zahra sudah bisa pulang malam ini. 

"Dia merengek minta pulang. Kalau nggak, dia nggak mau makan." Keluhku mengingat Zahra mengancam seperti itu.

Terdengar Ken tertawa singkat di sana.

"Iya Nat. Lebih baik dia di Apartemen saja."

Aku mengangguk walau Ken tidak dapat melihatnya.

"Ya sudah hati-hati di jalan."

Kalimat terakhir Ken memaksaku untuk berpikir.

"Lo nggak mau temani gue antar Zahra ke Apartemennya?" Tanyaku dengan dahi berkerut.

"Untuk apa gue mengantarnya kalau dia minta lo yang antar dia?" Ken tanya balik membuatku bergeming sesaat.

"Ya temani gue lah. Masa gue sendirian antar Zahra ke Apartemennya?"

Hi, OM NATHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang