Nathan
"Kau sungguh nggak bisa bermain catur?!"
Aku menghela napas panjang. Sudah kukatakan dari awal kalau aku tidak pandai bermain catur.
Belum ada 5 menit kami bermain, tapi aku sudah kalah telak oleh permainan pria tua bermantel hitam bercorak keemasan ini.
"Aku sudah bilang kan dari awal, aku nggak bisa bermain Papah." Gerutuku ditampiknya.
"Ah! Kau payah!"
Lihat. Pria itu memanyunkan bibirnya kesal. Seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan yang ia temukan di sebuah toko.
Nggak El, nggak Bapaknya, sama sama menyebalkannya.
"Bagaimana bisa orang sepertimu nggak bisa bermain catur?"
Papah Arkana tak henti menyelaku, rautnya masih nggak percaya jika aku benar-benar nggak bisa bermain catur. Apa kurang jelas melihat cara mainku yang langsung mengeluarkan sang raja hanya untuk melawan pion-pion kecil itu?
Aku lebih suka bermain yang lain seperti kartu remi atau monopoli, e-games atau permainan olahraga lain ketimbang bermain papan hitam-putih yang rumit itu.
Cukup hidupku saja yang rumit.
"Kalau gitu, kita bermain yang lain saja." Akhirnya aku menghela napas lega mendengar Papah Arkana mulai mengganti permainan kami.
"Bagaimana kalau memancing di Danau lagi?"
Oh Tuhan. Apa ia sudah mati rasa dengan cuaca yang mulai memasuki musim dingin ini?
Kenapa ia sangat suka sekali memancing?
Atau mungkin, ia sedang mengerjaiku?
"Kakek, sudah kubilang diawal jangan ajak Nathan pergi memancing lagi!" Lyana baru saja datang dengan membawa nampan yang berisi avocado toast with scrambled egg. Tak lupa dengan chamomile tea sebagai pemanisnya.
"Aku hanya menawarinya untuk menemaniku saja. Tidak memintanya ikut memancing lagi." Ucap Papah Arkana sambil mencecap chamomile tea-nya.
"Sebenarnya aku malu mengajaknya, tapi aku butuh teman ngobrol selagi menunggu umpanku dimakan ikan. Hari ini Mikael sibuk mengerjakan tugas sekolah, jadi aku menawarinya untuk menemaniku." Imbuhnya lagi.
"Lebih baik Kakek beristirahat saja di kamar. Cuaca mulai dingin. Nanti siang biar aku saja dan Nathan yang ke supermarket untuk membeli kebutuhan dapur." Papah Arkana tak luput memberi senyumannya ketika cucunya begitu perhatian padanya.
"Tapi memancing adalah hal yang bagus saat ini. Dan memancing sendirian akan terasa membosankan. Makanya aku mengajak Nathan pergi bersamaku." terangnya lagi.
"Apa aku melewatkan sesuatu yang seru?" Mikael akhirnya ikut menimbrung bersama kami setelah ia mengurung diri di dalam kamarnya karena tugasnya menumpuk.
Dengan kaos oblong putih dan celana panjang berwarna senada, ia tampak santai seakan tidak terusik dengan hawa dingin yang mulai menggerogoti. Aku saja harus menggunakan baju tebal dan coat sepanjang paha. Tapi laki-laki bun itu melangkah dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celananya.
"Ah--kau baru tiba cucuku." Papah Arkana menyambut Mikael. "Aku baru saja membully calon kakak iparmu." Ia tertawa remeh. "Kupikir Papah kalian adalah orang yang paling boring, ternyata ada lagi spesies-nya yang bahkan jauh lebih payah. Kemarin ia menunjukan bakatnya yang tidak bisa memancing, sekarang catur. Kekasihmu ini benar-benar payah." Pria tua itu berdecak ria setelah berhasil menyelaku pagi ini dengan baik dan membuatku tertohok di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, OM NATHAN!
RomanceNathaniel Salim (Nathan) tidak mengerti dengan dirinya sendiri sejak Lyana Bramawan (Lyana) menginap di Rumahnya karena sang kakak meminta Nathan untuk menjaga Lyana selama ia pergi. Selama Lyana disana, Nathan fokus menjaga Lyana. Pikirannya hanya...