Bab 10

8.9K 427 10
                                    

Nathan

"Lyana nggak marah sama Om Nathan. Beneran."

Lyana menunduk lesu. Tak kunjung ia mendongak walau aku memintanya untuk menatapku.

Setelah Lyana membeli buku novel yang ia cari. Aku langsung menarik Lyana dan pamit pulang pada Ken. Ken sadar diantara aku dan Lyana ada yang tidak beres. Tapi Ken bungkam dan membiarkan aku dan Lyana pergi lebih dulu.

Melihat Lyana belum lelah menundukan kepala, justru itu tidak baik buatku. Disini aku sadar aku salah. Meski diawal aku nggak berniat untuk membentak Lyana tapi tetap saja aku merasa nggak enak hati.

"Kalau kamu nggak marah, kenapa kamu nggak mau tatap Om?" Kini aku bersidekap dan menunduk miring agar aku bisa menatap Lyana dan Lyana mau menatapku.

"Lyana kan yang salah." Lirihnya.

"Om sudah bilang kamu sama sekali nggak salah. Om yang--"

Aku mendadak bisu. Apa aku harus mengaku kalau aku nggak suka mendengar Lyana tak henti membicarakan Ken?

Tapi alasannya apa jika Lyana bertanya padaku?

Kalau aku bilang alasannya Ken itu pemain, apa terdengar masuk akal?

Kalau aku ingat-ingat, pertanyaan Lyana mengenai Ken hanya sebatas bagaimana hubunganku dengan Ken. Berapa lama dan sejauh mana pertemanan kami selama ini. Dan Lyana hanya memuji Ken pria yang baik.

Hanya pertanyaan umum yang mudah kujawab seharusnya.

Hanya itu.

Duh, kepalaku mendadak pening.

"Intinya aku mau minta maaf karena tadi aku agak kasar sama kamu. Kamu sama sekali nggak salah. Jadi tolong Lyana lihat aku, tatap aku. Kalau kamu memang nggak marah sama aku, seharusnya kamu mau tatap aku bukan? Aku belum bisa percaya kalau kamu nggak marah sama aku tapi kamu nggak mau tatap aku."

Secara perlahan dan baik-baik aku membujuknya lagi. Berusaha keras aku tidak memaksanya menuruti kemauanku. Tapi sepertinya aku berhasil membuatnya luluh, perlahan Lyana mulai mendongak hingga aku bisa menatapnya sepenuhnya.

Aku tersenyum lega.

"Tapi Lyana beneran nggak marah sama Om Nathan." Lirihnya lagi dan aku menariknya ke dalam pelukanku.

Aroma floral menguar dari tubuh Lyana. Aku suka wanginya. Sehingga aku mengerat pelukan. Berharap aku bisa terus menghirup aroma menenangkan ini.

Tapi aku sadar kalau kami masih di area umum. Aku nggak mau menyelesaikan masalah ini pas kami sampai di Rumah, jadi aku menarik Lyana di dekat pintu Basement, dimana mobilku terparkir disana.

Karena banyak pengunjung berlalu lalang memperhatikan kami, aku segera menguraikan pelukan.

"Jadi kita sudah baikan?" Tanyaku dan Lyana mengangguk.

Tapi seketika ia menggeleng.

"Kita kan nggak berantem Om." Jelasnya.

"Hanya salah paham. Dan itu sudah selesai."

Akhirnya Lyana kembali tersenyum. Rasanya jauh lebih melegakan untukku.

Sebelum kami ke parkiran mobil, aku mengajak Lyana untuk mampir membeli es krim di outlet cukup terkenal. Selain beli es krim cone, aku juga borong dua cup besar es krim dengan rasa berbeda-beda agar kami bisa menikmatinya di Rumah.

Lyana sangat senang ketika aku membeli banyak es krim.

"Kalau Papah tahu Om beli banyak es krim, pasti Papah marah." Lyana menerawang, bagaimana ekspresi El jika tahu kalau aku membelinya banyak es krim.

Hi, OM NATHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang