Nathan
Sedari tadi pikiranku nggak fokus.
Pembicaraan Mbak Lenni mengenai penjadwalan soft launching dan Product Knowledge Cluster tahap pertama hampir tidak tergubris. Selama Mbak Lenni menjelaskan materinya di depan ruang meeting aku hanya menunduk, memandangi selembar brosur Cluster dengan tatapan kosong dengan satu tanganku memainkan bulpoin dan mencoret-coret brosur tanpa minat.
Sebelum meeting berlangsung, aku masih ingat dengan jelas aku begitu semangat saat melangkah menuju ruang meeting dengan wajah berbinar dan menggebu. Rasa tak sabar meluap hingga memuncaki kepalaku. Semua berkas perijinan Cluster tahap pertama sudah aman digenggamanku dan proyek pembangunan akan segera dilaksanakan. Selebaran brosur dan tumpukan banner sudah siap untuk disebar dan dipasang. Juga beberapa jadwal janji temu ke beberapa Kantor Broker juga sudah disusun sedemikian rupa.
Tapi pertemuan hari ini justru menyusut semangatku. Bagaikan sekelebat angin yang menerpa kulitku sesaat tak lama berlalu. Awal mulai hingga meeting sudah berakhir, punggungku masih betah bersender di kursi tanpa ada minat bergerak.
"Pak Nathan, Bapak melamun?" Mbak Lenni selaku Staf Pelaksana menghampiriku dan menyapaku hati-hati namun aku tersentak melihatnya sudah berdiri di samping sambil memperhatikanku was-was.
"Maaf Mbak Lenni, saya lagi kurang fit." Aku langsung mengusap wajahku letih dan pura-pura terlihat lemas di depan Mbak Lenni hingga ia terlihat prihatin melihatku.
"Pantas selama meeting Bapak kayak nggak semangat gitu. Pulang saja Pak, Wajah Bapak kelihatan pucat." Tampak Mbak Lenni menilai keadaanku was-was melalui raut wajahku. Namun spontan sebelah alisku terangkat sambil aku meraba pipiku yang terasa hangat-hangat kuku.
Kemudian Mbak Lenni menawarkan diri untuk dibawakan sesuatu, lalu ia hendak ingin memanggil Pak Reno untuk mengambilkan minuman hangat, namun aku mencegahnya dan Mbak Lenni manut. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih atas perhatiannya padaku.
Setelah itu Mbak Lenni pamit dan meninggalkan aku sendirian di dalam ruang meeting. Masih duduk di kursi tanpa minat untuk beranjak sedikitpun menuju ruang kerjaku. Aku melirik jam tangan yang sudah menunjukan pukul tujuh lewat lima belas menit. Mengingat-ngingat jadwalku hari ini sudah selesai semua, aku bisa langsung pulang setelah ini.
Tapi aku kembali merenung. Terbayang dengan isi pesan Lyana yang mengatakan kalau Ken sudah menjemput Lyana dan mereka sedang makan bersama di salah satu Resto di daerah Dago. Setelah Lyana membalas pesanku tadi sore, sekitar pukul enam, disitu suasanaku seketika berubah.
Beberapa kali aku menarik napas dan menghembuskannya panjang disaat kepalaku membayangkan Ken mengajak Lyana ke Resto yang memiliki pemandangan alam yang indah. Mereka berdua tampak asik menikmati pemandangan tersebut yang dipenuhi kilauan lampu yang terang didalam kegelapan malam. Lalu mereka mulai menikmati makan malam mereka diiringi instrumen musik merdu. Sambil menikmati makanan mereka, Ken terhanyut memandangi Lyana yang asik menceritakan sesuatu hal yang bagi Lyana seru untuk diceritakan. Seakan sedang menceritakan sebuah dongeng klasik kesukaannya.
Dan Ken terpaku memandangi Lyana. Seolah gadis itu bagaikan titik pusat yang tak bisa berpalingkan sedetikpun.
Aneh. Padahal itu hanya bayangan di kepalaku. Tapi kepalaku tiba-tiba berdenyut nyeri. Tenggorokanku juga mendadak kering sampai aku meraih sebotol air mineral lalu aku teguk hingga tandas.
Cukup lama aku terduduk di ruang meeting, aku bangkit dan melangkah keluar dari Kantor. Kebetulan Kantor tinggal ada aku seorang, aku langsung pamit pulang ke Pak Reno yang sudah menungguku di ruang tunggu Resepsionis lalu beliau juga bersiap-siap untuk pulang ke Rumahnya.
Selama aku menempuh perjalanan menuju Rumah, hati kecilku terbesit keinginan untuk menyusul Lyana dan Ken. Awalnya aku menggeleng. Jam segini pasti daerah Dago sedang macet. Aku malas terjebak kemacetan disana. Lebih baik aku pulang ke Rumah dan menunggu mereka tiba di Rumah.
Namun keinginan tersebut menggodaku terus.
Godaan itu mengelitik hingga tanpa sadar aku sudah tiba di parkiran Restoran. Aku takjub dengan kekonyolanku sendiri. Bisa-bisanya aku sudah di depan Resto padahal belum tentu yakin Ken membawa Lyana makan malam disini.
Aku tahu Restoran ini adalah Restoran yang biasa Ken kunjungi. Selain tempatnya nyaman dan memiliki pemandangan indah, ada alasan khusus yang menjadikan Restoran ini menjadi tempat kesukaannya.
Hatiku mendadak lega ketika aku menemukan mobil Ken yang terparkir tak jauh dari mobilku. Aku tak perlu bersusah payah berpura-pura bertanya lagi ke Lyana. Dengan langkah percaya diri aku memasuki Resto tersebut sambil mataku bekerja mencari keberadaan mereka berdua di sepanjang sudut Resto.
Seorang Pelayan laki-laki datang membantuku mencari tempat. Lalu ia membawaku ke tempat khusus tamu dua orang. Disana ada beberapa meja yang kosong dan baru ada aku yang menempati salah satu meja tersebut. Aku memilih duduk di sudut ruangan agar aku bisa melihat pemandangan Kota Bandung secara jelas.
Juga aku bisa memantau posisi Ken dan Lyana yang ternyata tak jauh dari posisiku saat ini. Hanya beda dua tempat dari posisiku yang tertutup rimbunan pohon menjulang. Tapi itu sangat membantuku agar mereka tidak bisa melihat aku yang duduk disini memperhatikan mereka.
Aku mulai memesan makanan sambil sesekali aku melirik posisi Ken. Setelah Pelayan pergi, mataku kembali bekerja mengamati mereka berdua. Disini aku melihat Lyana sedang menceritakan sesuatu, tampak bersemangat seperti biasanya sambil ia melahap beberapa potong buah di piringnya.
Sesekali ia menarik gulungan lengan jaket yang kutahu itu jaket Ken. Tampak Lyana sedikit kesusahan menggulung lengan jaket sebelum ia hendak mengambil makanan yang masih tersedia, Ken langsung sigap membantu Lyana.
Ah, rasanya ingin kutarik jaket itu lalu kucabik-cabik sampai tak berbentuk.
Dari sini aku juga bisa melihat Ken yang hanya terdiam. Satu tangannya menopang dagu memperhatikan Lyana kembali berbicara panjang lebar.
Ekspektasiku sesuai dengan realita.
Tapi aku nggak suka melihatnya.
Seperti yang kutahu, Ken yang kukenal adalah seorang Pendengar yang baik. Sepanjang dan selama apapun topik pembicaraan, Ken akan menyimaknya. Tapi ia tak akan ragu memberikan pendapatnya disela pembicaraan tersebut. Seperti saat ini. Aku melihat Ken mulai berbicara ketika Lyana berhenti. Lalu Lyana manggut-manggut saat Ken mengutarakan sesuatu.
Tapi selama Ken memperhatikan dan berbicara, Ken yang kulihat saat ini tampak sedikit berbeda.
Ken akan selalu melayangkan tatapan manis dan dalam setiap ia bersama dengan perempuan hingga perempuan itu merasa disanjung. Merasa diperhatikan. Tapi kali ini aku menangkap ada sirat khusus melalui tatapan Ken.
Bukan tatapan khas Buaya Darat yang biasa Ken layangkan.
Dan sekilas senyuman terbit di garis bibir Ken yang jarang ia perlihatkan ketika Lyana tertawa disana memancing pradugaku.
Atau mungkin ini hanya firasatku saja.
Tapi jika Ken hanya ingin bermain-main, Lyana bukan tipenya setahuku.
-o-
Sedikit ya?
Maaf banget ya aku baru mampu mengetik sebisaku karena bahuku cedera hampir satu minggu ini. huhu T_T
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, OM NATHAN!
RomanceNathaniel Salim (Nathan) tidak mengerti dengan dirinya sendiri sejak Lyana Bramawan (Lyana) menginap di Rumahnya karena sang kakak meminta Nathan untuk menjaga Lyana selama ia pergi. Selama Lyana disana, Nathan fokus menjaga Lyana. Pikirannya hanya...